Headline

IMAGE-1 IMAGE-2 IMAGE-3 IMAGE-4 IMAGE-5 IMAGE-5

Sabtu, 30 Juni 2012

Perdagangan Bebas Dan Pemanasan Global, Tanggung Jawab Siapa?



Isu global yang menjadi poros perhatian umat dunia saat ini adalah “Perdagangan Bebas” dan “Pemanasan Global”. Siapa otak dan pihak yang memiliki kepentingan besar dalam dua isu besar tersebut? Barat lah yang memiliki kepntingan terbesar sebagai pihak yang memiliki inisitif pertama untuk mendorong sebuah liberalisasi perdagangan dunia (globalisasi perdagangan). Pada front ideologis, ada keyakinan kuat bahwa hambatan-hambatan dagang yang bisa diminimalisir dan meningkatkan saling ketergantungan dalam perdagangan, pada akhirnya nanti akan menghasilkan standar kehidupan yang lebih tinggi bagi mayarakat dunia.

Namun, sekarang meja itu telah berubah posisi. Sebuah goncangan kecil telah mengubah sikap Barat itu. Akhir perang dingin membuat perbedaan besar. Tiba-tiba saja Amerika Serikat dan Eropa tidak tertarik lagi pada sukses ekonomi negara-negara Asia Timur; tidak lagi dilihat sebagai sekutu, melainkan sebagai kompetitor. Masuknya China ke pasar global, terlebih lagi setelah diizinkan masuk ke organisasi perdagangan dunia (WTO), membuat perbedaan itu semakin besar, baik secara ekonomi dan psikologis. Pertama, Eropa telah kehilangan kepercayaan diri untuk bersaing dengan negara Asia Timur. Kemudian, banyak orang Amerika Serikat ikut-ikutan kehilangan kepercayaan diri akan keandalan prinsip kompetensi ekonomi.



Hal ini kemudian menjadi alasan dasar mengapa ada riak kecil dalam pembicaraan-pembicaraan tentang perdagangan global. Sekalipun isu-isu yang spesifik dan rumit, alasan utama mengapa pembicaraan tentang perdagangan global menjadi berlaru-larut bahkan terncam kandas, adalah karena para juara perdagangan bebas itu sendiri telah mulai kehilangan kepercayaan diri mereka pada apa yang telah diusungnya. ketika orang-orang Eropa dan Amerika Serikat mempersiapkan diri sebagai “si kalah” dan bukan sebagai “si pemenang”, maka mereka lalu kehilangan motivasi mendorong liberalisasi perdagangan dunia.



China dan India (ataupun negara berkembang lainnya yang memiliki ekonomi menonjol, seperti Brasil dan Afrika Selatan) bersiap untuk mengambil jubah kemenangan yang selama ini dipegang oleh negeri Barat. Namun, China tetap “low profile” lantaran takut ini semua hanya akan membuat Amerika Serikat dan Eropa cemburu. Oleh karenanya, pembicaraan tentang perdagangan bebas terkatung-katung tiada ujung. Ujung dari dorongan Barat yang dulu gencar mendorong liberalisasi perdagangan bebas bisa berarti akhir dari pertumbuhan ekonomi global paling spektakuler yang pernah ada.


Sekarang muncul sebuah konsensus yang tumbuh semakin luas di dunia bahwa pemanasan global sedang membawa ancaman nyata. Konsensus global ini menjadi semakin nyata dengan sokongan fakta yang dilaorkan oleh “Climate Change 2007: Mitigation of Climate  Change”. Laporan itu mengatakan bahwa emisi gas rumah kaca global terjadi sejak zaman pra-industri, dengan kenaikan sampai 70% antara tahun 1970-2004. Laporan itu lebih lanjut mengatakan “tanpa ada aksi tambahan oleh pemerintah-pemerintah, emisi dari enam rumah kaca yang disebut oleh Protokol Kyoto akan naik dari 25 hingga 90 persen pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2000. Enam gas tersebut adalah karbondioksida, methane, nitrogenoksida, sulfur hexaflorida, PFC, dan HFC.


Tetapi efek rumah kaca yang sedang kita khawatirkan adalah dewasa ini sebenarnya bukan disebabkan oleh emisi yang ada sekarang, sekalipun zaman sekarang juga memberikan andil dalam menyumbang emisi global. Sebab mendasarnya adalah masalah andil emisi, bahwasanya emisi terebut sudah terakumulasi dalam dua abad terakhir sejak Revolusi Industri. Oleh karena itu, sebuah solusi yang adil dan wajar haruslah dirumuskan. Gwynne Dyer merumuskan masalah itu dengan baik:


“Coba bayangkan anda sendiri yang memakai sepatu yang dipakai China pada 500 tahun lalu. Pendapatan rata-rata di India, Eropa, dan China kurang lebih sama. Kemudian Uni Eropa membuat lompatan besar untuk meninggalkann semua yang lain dengan menggunakan teknologi yang mereka temukan (revolusi industri), sehingga memperoleh kekayaan dan kekuasaan yang tak terbayangkan, serta menaklukan hampir seluruh pelosok dunia. Mereka juga menjadi negara industri, dan selama 200 tahun itulah, industri, kota-kota, kendaraan mereka membuang emisi gas yang berakibat pada rumah kaca sekarang. Nah, negara-negara kaya itu lantas begitu sibuk dengan akibat-akibatnya. Beberapa dari mereka malah rela memangkas emisinya -namun mereka tidak mungkin melakukan itu diluar batas yang dapat mereka tanggung, karena mereka sudah terlanjur kaya dan kaya untuk tetap kaya.
Tapi jika China memaksakan diri untuk memangkas juga gas emisinya, jelas tidak akan mungkin, tidak akan ada negara yang rakyatnya mayoritas makmur dan terjamin dalam generasi sekarang dan generasi mendatang, yang harus cepat-cepat menarik rem secara mendadak. Hal yang sama juga berlaku bagi semua negara miskin lainnya yang sekarang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat. Maka tawar-menawar yang adil, seharusnya adalah mereka harus tetap tumbuh cepat, sedangkan negara-negara kaya wajib menahan diri.
Berikut adalah dua cara utama bagi negara-negara maju untuk mengambil tanggung jawab itu. Pertama, dengan memotong emisi mereka sendiri, sambil meninggalkan beberapa ruang kosong untuk negara-negara berkembang untuk membangun dirinya. Kedua, membayar langsung untuk pemotongan emisi-emisi itu kepada negara berkembang: membayar mereka untuk mengadopsi teknologi pembakaran batu bara yang bersih, membangun sumber-sumber energi terbarukan, bukan untuk membabati hutan. Bayarlah mereka dengan pantas karena kalau tidak, hanya akan membuat negara berkembang sengsara. Negara berkembang tidak akan mendapatkan ini semua kecuali mereka berhasil menunjukkan bahwa mereka tidak rela memangkas emisi tanpa adanya kompensasi yang pantas.”


Dalam kasus emisi gas rumah kaca, negara-negara industri makmur di Barat punya alasan tambahan untuk tanggung jawab yang lebih besar, sebab merekalah yang pertama kali bertanggung jawa adanya emisi di atmosfer dunia. Sejak tahun 1850, kontribusi China tercatat kurang dari 8% dari total emisi gas korbondioksida, sedangkan AS bertanggung jawab atas 29%, Eropa Barat 27%. Per kapita emisi gas rumah kaca India hanya 4% dar yang dilepaskan AS dan 12% dari yang dilepaskan Uni Eropa.


Daniel Esty, seorang Profesor Hukum dan Kebijakan Lingkungan dari Yale Universuty mengatakan bahwa sekalipun pemerintah China tidak menghindari setiap komitmen untuk membatasi emisi gas karbondioksida, namun China telah mematok target untuk memangkas penggunaan energi per unit PDB sebesar 20 persen pada tahun 2020.


Para pejabat baru China sadar betul tentang tantangan yang harus dihadapi China dan dunia. Mereka siap untuk menjadi pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam manajemen tantangan global ini. Pertanyaan yang mereka ajukan adalah “apakah Barat juga siap bertanggung jawab bersana China untuk melaksanakan dan menerima pembagian tanggng jawab yang sepadan?”. Jika Barat tidak siap, maka tidak ada solusi lain untk mengatasi krisis pemanasan global.

Emisi Dunia
Wilayah/ Negara
1980
1985
1990
1995
2000
2004
Amerika Serikat
4.754,52
(26%)
4.585,20
(23,6%)
5.013,45
(23,3%)
5.292,67
(24%)
5.815,50
(24%)
5.912,21
(24%)
Eropa
4.657,92
(25,4%)
4.657,28
(23,5%)
4.500,29
(21%)
4.259,83
(19,33%)
4.426,93
(18,5%)
4.653,43
(17,2%)
Jepang
937,50
(5%)
892,96
(4,5%)
1.014,85
(4,7%)
1.075,84
(4,8%)
1.190,06
(4,9%)
1.262,10
(4,7%)
China
1.454,65
(7,9%)
1.838,47
(9,4%)
2.241,17
(10,4%)
2.873,10
(13%)
3.030,88
(12,7%)
4.707,28
(17,4%)
India
299,75
(1,6%)
439,34
(2,2%)
588,24
(2,7%)
867,08
(3,9%)
1.000,69
(4,1%)
1.112,84
(4,1%)
Total dunia
18.333,75
19.412,76
21.426,12
22.033,53
23.851,46
27.043,57
Data emisi CO2 1980-2004 (dalam juta metrik ton karbondioksida)

0 komentar:

Posting Komentar