Oleh:
Rizal Razib Abdillah[1]
Abstract:
Krisis gagal bayar yang dialami negara-negara Eropa dewasa ini
membuat wacana negatif bagi para pelaku pasar modal (investor) dalam maupun
luar negeri untuk tetap menanamkan modalnya di Indonesia. Cina, negara yang
memiliki pangsa besar di Eropa dan Amerika berpotensi mengalami resesi ekonomi
karena kurangnya permintaan dari negara-negara kawasan tersebut akibat krisis
yang melanda.
Dengan menggunakan pendekatan Vector Error Correction Model (VECM)
dan periode observasi tahun 2008-2012, karya tulis ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah krisis Eropa dan resesi ekonomi Cina berdampak negatif pada
pergerakan IHSG. Variabel yang digunakan adalah IHSG, indeks FTSE 100, indeks
SSE, dan indeks Stoxx 50e. Melalui VECM disimpulkan krisis Eropa tidak
berpengaruh negatif langsung terhadap indeks investasi Indoneisa. Sementara
resesi ekonomi Cina berdampak negatif pada iklim investasi di Indonesia.
PENDAHULUAN
Krisis Eropa merupakan
bentuk krisis utang yang berasal dari Yunani, yang kemudian menjalar ke
Irlandia dan Portugal serta menimbulkan efek domino ke beberapa Negara Uni
eropa lainnya. Jika dilihat dari kacamata sejarah, Yunani merupakan negara
dengan peradaban yang sangat berkembang. Tetapi saat ini, ketika melihat Yunani
maka yang didapati adalah sebuah negara dengan corruption perceptions index
(CPI) berada pada peringkat 71 dari 180 negara. Ketidak jujuran pemerintah
Yunani lah yang mengawali pergerakan hutang pemerintahnya semakin meningkat
sehingga menyebabkan negara tersebut mengalami krisis gagal bayar.
Krisis Yunani
ini kemudian berlanjut ke Irlandia, Italia, dan Perancis. Belakangan ini,
Spanyol disebut-sebut sebagai negara yang akan krisis hutang seperti keempa
negara Eropa sebelumnya. Krisis gagal bayar negara Eropa mulai tercium pada
akhir tahun 2009 karena kekhawatiran investor atas peningkatan volume hutang
pemerintah negara-negara Eropa. Kekhawatiran ini berlanjut hingga awal tahun
2010, tepatnya pada tanggal 9 Mei 2010 para menteri keuangan Uni Eropa
menyetujui paket bantuan senilai 750 milliar Euro untuk menyelamatkan
stabilitas ekonomi kawasan melalui instrumen EFSF (Europe Financial
Stability Facility).
Krisis gagal
bayar negara-negara Uni Eropa dewasa ini membawa dampak negatif terhadap perekonomian
berbagai negara di dunia. Melemahnya perekonomian dunia ditandai dengan
melemahnya harga minyak mentah dunia di berbagai pasar berjangka Eropa. West
Texas Interdmediate (WTI), yang berbasis kontrak di New York,
mencatat harga minyak dunia ditutup melemah senilai 87,72 USD per barel atau
turun sebesar 2,94 USD. Di London, harga minyak jatuh sebesar 3,21 USD per
barel menjadi 103,47 USD untuk periode bulan Juli mendatang. Sedangkan mata
uang Euro mengalami penurunan drastis sepanjang periode 23 bulan sebesar 0,9%
menjadi 1.2370 USD.[2]
Krisis Eropa
juga berpengaruh terhadap kenaikan harga emas dalam mata uang euro. Pada awal
Januari 2008 harga emas haya sebesar 604,46 euro per troy emas. Harga emas
terus meningkat seiring pukulan krisis mencapai level 1.317,73 pada Februari
2012. Kenaikan harga terhadap mata uang euro bisa dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Harga
Emas dalam Euro (2008-2012)
Selain itu,
krisis Eropa juga memicu melemahnya indeks harga saham gabungan di berbagai
negara. Baik di negara kawasan Uni Eropa maupun negara non kawasan Uni Eropa. Index
Dow Jones menunjukkan turun 160,83 poin (1,28%) ke level 12.419,86. Indeks
S&P 500 juga melemah 19,1 poin (1,43%) ke level 1.313,32. Sedangkan indeks
Nasdaq mengalami penurunan hingga level 2.837,36 atau sebesar 33,63 (1,17%).[3]
Untuk Indeks S&P 500 selama bulan ini terkoreksi hampir 6% selama bulan
ini. Keadaan ini merupakan kinerja terburuk sejak September 2011.
Tidak hanya di
negara Amerika Serikat, penurunan harga saham gabungan di beberapa negara Asia
juga mengalami kelesuan yang signifikan, termasuk Indonesia. Indeks Nikkei
mengalami penurunan rata-rata sebesar 2,5%, indeks saham Australia jatuh
sebesar 3,1%, sedangkan indeks MSCI Asia Pasifik, selain negara Jepangmelemah
sebesar 1,1%.[4]
Cina, negara
penggerak ekspor-impor barang pabrik dunia pasca krisis global 2008 juga ikut
terkena dampak krisis Eropa saat ini. Saat ini perekonomian Cina mengalami
resesi pertumbuhan ekonomi hinggal level 8,4% dari tahun sebelumnya sebesar 9%.
Proyeksi pertumbuhan Cina tahun 2012 sebesar 8,2%, tetapi banyak analis yang
menyangsikannya. Bahkan bila krisis Eropa menjadi berkepanjangan dan berujung pada
resesi ekonomi global, IMF memprediksikan ekonomi Cina hanya akan tumbuh 4%,
turun setengahnya dari ekspektasi 8%.[5]
Resesi ekonomi
Cina bisa terjadi karena pasar ekspor negara ini adalah Eropa dan Amerika. Pada
tahun 2010, 20% pasar ekspor produk Cina adalah Eropa, sedangkan negara Amerika
hanya sebesar 18%.[6]
Oleh karenanya, pasti ada hubungan ekonomi antara pemasok barang (Cina) dan
negara tujuan, sehingga ketika negara tujuan mengalami krisi ekonomi dan
konsumsi menurun, maka negara pemasok pun akan terkena imbas ekonomi karena
berkurangnya permintaan barang.
Sementara itu, Cina
memegang peranan penting dalam memasok kebutuhan konsumen Asia. Rancangan 5
tahun (2011-2015), Cina memiliki semua bahan yang diperlukan untuk membangun
bantalan dinamisme antara dunia Timur dan Krisis Eropa. Negara berkembang di
Asia tidak terlalu terpengeruh secara signifikan oleh krisis yang terjadi di
negara Eropa. Hal ini karena tujuan ekspor negara berkembang turun menjadi 20%
pada tahun 2010 dari tahun 1998-1999 yag mana sebesar 34%. Sedangkan
ketergantunga Asia pada ekspor intra-regional atau perdaganagn dalam kawasan
sebesar pada tahun yang sama meningkat menjadi 36% total ekspor negara
berkembang pada tahun 1998 menjadi 44% pada tahun 2010. Sehingga resesi ekonomi
Cina yang disebabkan oleh krisis ekonomi negara Eropa bisa memberikan dampak
negatif terhadap iklim investasi di negara berkembang Asia, tidak terkecuali
Indonesia.
Karya tulis ini
ingin mengetahui seberapa krisis Eropa dan resesi rkonomi Cina mempengaruhi
investasi pasar modal di Indonesia, yang ditandai dengan pergerkan IHSG
Indonesia selama periode 2008-2012, hingga saat terakhir tulisan ini dibuat.
KAJIAN
TEORI
Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG)
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) atau disebut juga Jakarta
Composit Index (JCI) merupakan salah satu indeks saham yang digunakan dalam
Bursa Efek Indonesia (BEI). Diperkenalkan pertama kali pada tanggal 1 April
1983 sebagai indikator pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Indeks ini mencakup pergerakan seluruh saham biasa dan saham preferen yang
tercatat di BEI. Pada tanggal 1982 IHSG ditetapkan dengan nilai dasar (basis poin)100 dan saham yang tercatat pada
wakt itu berjumlah 13 saham perusahaan. IHSG pernah mencatat posisi tertinggi
pada tanggal 1 Agustus 2011 di level 4.193,44 poin.
IHSG terdiri dari sembilan komponen yang tercatat dalam Bursa Efek
Indonesia (BEI), yaitu pertanian, pertambangan, industri dasar, aneka industri,
industri barang konsumsi, properti, infrastruktur, keuangan, dan perdagangan.
Indeks
FTSE 100
FTSE 100 merupakan indeks gabungan dari indeks saham 100 perusahaan
dengan kapitalisasi terbesar di London Stock Exchange (LSE). Indeks 100 perusahan
yang ada di dalamnya merupakan indeks “blue chips” yang menjadi cerminan
dari performa semua perusahaan Eropa yang tergabung dalam LSE.[7]
Indeks ini dioperasikan oleh FTSE group yang mana merupakan
perusahaan independen kombinasi Financial Times dan London Stock Exchange
(LSE). Diluncurkan pada tanggal 4 Januari 1984 dengan basis nilai 1000. Nilai
tertingginya dicapai pada tanggal 30 Desember 1999 dengan level 6.950,6. Pada
Maret 2009, FTESE 100 mencapai titik terendahnya pada level 3.500 karena
goncangan krisis global 2007-2008.
Sepulu perusahaan dengan kapitalisasi terbesar adalah BHP Billiton
yang bergerak di bidang pertambangan, Royal dutch Shell di bidang minyak dan
gas, HSBC pada jasa keuangan, Vodafone group di bidang telekomunikasi, British
Pretoleum di bidang minyak dan gas, Rio Tinto group pada pertambangan, Glaxo
smith Kline pada bidang farmasi, Unilever di barang konsumsi, British American
Tobacco pada bisnis tembakau, dan BG group di bidang minyak dan gas.
Indeks
Stoxx 50e
Indeks Stoxx 50 adalah indeks yang menunjukkan performa saham blue
chip di kawasan Eropa. Indeks ini mencakup 50 saham perusahaan yang
memiliki kapitalisasi terbesar dari 12 negara Eropa, seperti Austria, Belgia,
Finlandia, Perancis, Jerman, Irlandia, Italia, Luxemburg, Belanda, Portugal,
dan Spanyol. Indeks Stoxx 50 memiliki lisensi sebagai lembaga keuangan sebagai
kelas acuan produk-produk investasi, seperti Exchange Traded Funds (ETF),
kontrak derivatif futures dan options, serta beberapa produk
investasi lainnya.
Indeks ini dimiliki oleh Deutsche Borse AG dan SIX Group AG.
Tujuannya adalah untuk merepresentasikan saham blu-chip perusahaan yang
menjadi pemimpin saham-saham supersekto di kawasan Eropa.
Indeks
SSE
Indeks The Shanghai Stock Exchange (SSE) adalah indeks gabungan dari
semua saham yang diperdagangkan di Shanghai Stock Exchange (SSE). Diluncurkan
pada 15 Juli 1991 dengan nilai kapitalisasi pasar gabungan seluruh indeks saham
sebagai periode dasarnya. Nilai dasar (based value) yang dipakai adalah 100.
Tahun 2006, SSE memiliki 152 anggota yang terdaftar dengan 139
perusahaan sekuritas dan 13 perushaan non-sekuritas. Pada akhir Desember 2007,
lebih dari 71,3 juta investor dan 860 perusahaan terdaftar sebagai anggota dari
indeks SSE dengan total nilai modal sebesar 661,6 milliar RMB.[8]
DATA DAN
METODOLOGI ANALISA DATA
1.
Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam karya tulis ini adalah data sekunder yang
didapat dari berbagai jenis kajian literatur seperti buku teori, jurnal,
majalah, koran, dan website internet terkait lainnya. Periode data penelitian
berkisar dari Januari 2008 sampai April 2012.
Variabel data yang digunakan adalah data Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) Indonesia, FTSE 100, indeks SSE, dan Stoxx 50e. Variabel
independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain, dalam hal ini
adalah FTSE 100, indeks SSE, dan Stoxx 50e. Sedangkan variabel dependen adalah
variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain, dalam hal ini adalah IHSG.
Data Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Indeks komposit FTSE 100, indeks
SSE dan Stoxx 50e diambil dari situs www.finance.yahoo.com. Sementara data
harga emas diambil dari situs www.kitco.com.
2.
Metode Analisa Data
Unutk menganalisa hubungan antar variabel yang berbasiskan data time
series dan tanpa landasan teoritis (ateoritis), maka metode yang
digunakan adalah pendekatan Vetor Auto Regression (VAR) atau Vector
Error Correction Model (VECM). Sebelum memutuskan menggunakan salah satu
model tersebut, maka dibutuhkan beberapa uji data terlebih dahulu.
1)
Uji Akar-Akar Unit (Unit Root Test)
Estimasi model ekonometrik time series akan menghasilkan kesimpulan
yang tidak berarti, ketika data yang digunakan mengandung akar unit (tidak stasioner).
Non-stationary seri akan menciptakan kondisi spurious regression yang
ditandai oleh tingginya koefisien determinasi, R2 dan t statistik tampak
signifikan, tetapi penafsiran hubungan seri ini secara ekonomi akan menyesatkan
(Harris dan Sollis: 2003, serta Enders: 2004).[9]
Sebuah seri dikatakan
stasioner, jika seluruh moment dari seri tersebut (rata-rata, varians
dan kovarians) konstan sepanjang periode waktu. Augmented Dickey–Fuller Test
(ADF test) merupakan prosedur standar, untuk menguji hipotesis nol (H0)
terdapatnya akar unit (seri tidak stasioner) terhadap hipotesis alternatif (H1)
yang merupakan sebuah seri stasioner. Jika Yt adalah seri
dengan panjang lag p, maka:
Dimana
mengikui proses white noise
Dalam persamaan
(1), hipotesis nol adalah γ = 0 melawan hipotesis alternatif γ < 0.
Jika nilai statistik ADF secara absolut lebih kecil dibandingkan nilai kritis
MacKinnon, maka terjadi penerimaan terhadap hipotesis nol. Dengan kata lain, Yt
mengandung satu akar unit.
Seri yang belum
stasioner dapat dijadikan stasioner, melalui proses diferensiasi. Diferensi Yt
pada derajat pertama dapat dinyatakan sebagai berikut:
Jika hipotesis nol β1 = 0 ditolak,
maka dapat disimpulkan Yt telah stasioner pada derajat
pertama, I (1).
2)
Uji Kointegrasi Johansen (Johansen Cointegration Test)
Kombinasi dari
dua seri yang tidak stasioner, akan bergerak ke arah yang sama menuju
ekuilibrium jangka panjangnya dan diferensiasi diantara kedua seri tersebut
akan konstan. Jika demikian halnya, seri ini dikatakan saling berkointegrasi.
Tes kointegrasi antara FTSE 100 dan Stoxx 50e terhadap IHSG dan IHK berdasarkan
pendekatan Vector Auto Regressions (VAR) Johansen. Jika vektor Xt
adalah vektor variabel endogen dalam VAR dengan panjang lag p, maka:
Dimana:
Spesifikasi VAR
ini dapat dinyatakan dalam bentuk first difference sebagai,
I = matriks
identitas
Jika
tidak terdapat hubungan kointegrasi, model unrestricted VAR dapat
diaplikasikan. Tetapi, bila terdapat hubungan kointegrasi antar seri, model Vector
Error Correction (VECM) yang dipergunakan. Jumlah vektor kointegrasi
diperolah dengan melihat signifikansi dari Π, melalui dua likelihood test:
Maximum
eigenvalue:
(5)
T = jumlah observasi
Trace
statistic:
(6)
3)
Uji Kausalitas Granger (Granger Causality) berdasarkan Error
Correction Model (ECM)
Tes kausalitas
antara IHSG, Indeks FTSE 100, Indeks SSE, dan indeks Stoxx 50e berdasarkan kausalitas
Granger. Kausalitas antara dua seri X1t dan X2t pada p
order VAR:
Dimana:
ANALISA DAN
PEMBAHASAN
Di Indonesia,
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung melemah pada tahun 2009 karena
imbas krisis hutang Eropa, meskipun lambat laun IHSG semakin membaik. Data
skema perubahan IHSG bisa dilihat pada gambar 2. Pada gambar 2 bisa diketahui
IHSG mencapai level 1.976,23 pada awal tahun 2009. Namun, pelemahan IHSG lebih
diakibatkan karena adanya krisis globabl yang mendera dunia pada tahun 2008
silam.
Gambar 2.
Pergerakan IHSG tahun 2008-2012
Bagaimanapun,
pergerakan IHSG merupakan sebuah indikator iklim investasi di Indonesia. Akan tetapi tekanan krisis Eropa menjadikan
tekanan tersendiri pada pergerakan IHSG sebagai indikasi kekondusifan investasi
di pasar modal Indonesia. Iklim investasi yang mendukung sangat menentukan capital
inflow yang datang ke suatu negara dari negara lain. Secara normal, jika
iklim investasi mendukung, maka pertumbuhan ekonomi negara akan berkembang
karena tersedia banyak modal yang bisa digunakan dalam aktivitas ekonomi.
HASIL-HASIL UJI
EMPIRIS
1)
Uji Akar-akar Unit (Unit Root Test)
Tabel
dibawah ini menyajikan hasil uji
akar-akar unit. Berdasarkan uji akar-akar unit ADF, seluruh seri yang digunakan
dalam penelitian ini baru stasioner setelah di diferensiasikan pada orde kedua,
I(2).
Tabel 1. Hasil uji stasioner IHSG pada saat level
Null
Hypothesis: LN_IHSG has a unit root
|
|
|||
Exogenous:
Constant
|
|
|
||
Lag
Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
t-Statistic
|
Prob.*
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Augmented
Dickey-Fuller test statistic
|
-0.390493
|
0.9028
|
||
Test
critical values:
|
1% level
|
|
-3.565430
|
|
|
5% level
|
|
-2.919952
|
|
|
10% level
|
|
-2.597905
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*MacKinnon
(1996) one-sided p-values.
|
|
|||
|
|
|
|
|
Tabel 2. Hasil uji stasioner IHSG pada saat first differece
Null
Hypothesis: D(LN_IHSG) has a unit root
|
|
|||
Exogenous:
Constant
|
|
|
||
Lag
Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
t-Statistic
|
Prob.*
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Augmented
Dickey-Fuller test statistic
|
-4.978494
|
0.0001
|
||
Test
critical values:
|
1% level
|
|
-3.568308
|
|
|
5% level
|
|
-2.921175
|
|
|
10% level
|
|
-2.598551
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*MacKinnon
(1996) one-sided p-values.
|
|
Dapat dilihat dari tabel 1, uji stasioner IHSG pada
saat level belum bisa dikatakan stasioner karena nilai probabilitasnya sebesar
0,9028 masih di atas alfa sebesar 0,05. Dari tabel 2 bisa dilihat nilai
probabilitas sebesar 0,0001 sudah di bawah alfa, jadi data IHSG baru bisa
dikatakan stasioner.
Tabel 3. Hasil uji stasioner FTSE 100 pada saat level
Null
Hypothesis: LN_FTSE100 has a unit root
|
|
|||
Exogenous:
Constant
|
|
|
||
Lag
Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
t-Statistic
|
Prob.*
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Augmented
Dickey-Fuller test statistic
|
-1.559716
|
0.4956
|
||
Test
critical values:
|
1% level
|
|
-3.565430
|
|
|
5% level
|
|
-2.919952
|
|
|
10% level
|
|
-2.597905
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*MacKinnon
(1996) one-sided p-values.
|
|
Tabel 4. Hasil
uji stasioner FTSE 100 pada saat first difference
Null
Hypothesis: D(LN_FTSE100) has a unit root
|
||||
Exogenous:
Constant
|
|
|
||
Lag
Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
t-Statistic
|
Prob.*
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Augmented
Dickey-Fuller test statistic
|
-6.122545
|
0.0000
|
||
Test
critical values:
|
1% level
|
|
-3.568308
|
|
|
5% level
|
|
-2.921175
|
|
|
10% level
|
|
-2.598551
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*MacKinnon
(1996) one-sided p-values.
|
|
Tabel
3 menunjukkan nilai probabilitas FTSE 100 pada saat level sebesar 0,4956 yang
mana masih di atas nilai alfa sebesa 0,05. Sedangkan pada tabel 4, nilai
probabilitas FTSE 100 senilai 0,0000 sudah diatas nilai alfa, sehingga pada saat
first difference FTSE 100 dikatakan stasioner.
Tabel 5. Hasil
uji stasioner indeks SSE pada saat level
Null
Hypothesis: LN_SSE has a unit root
|
|
|||
Exogenous:
Constant
|
|
|
||
Lag
Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
t-Statistic
|
Prob.*
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Augmented
Dickey-Fuller test statistic
|
-2.891491
|
0.0533
|
||
Test
critical values:
|
1% level
|
|
-3.565430
|
|
|
5% level
|
|
-2.919952
|
|
|
10% level
|
|
-2.597905
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*MacKinnon
(1996) one-sided p-values.
|
|
Tabel 6. Hasil
uji stasioner indeks SSE pada first difference
Null
Hypothesis: D(LN_SSE) has a unit root
|
|
|||
Exogenous:
Constant
|
|
|
||
Lag
Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
t-Statistic
|
Prob.*
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Augmented
Dickey-Fuller test statistic
|
-7.342039
|
0.0000
|
||
Test
critical values:
|
1% level
|
|
-3.568308
|
|
|
5% level
|
|
-2.921175
|
|
|
10% level
|
|
-2.598551
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*MacKinnon
(1996) one-sided p-values.
|
|
Pada
tabel 5 tercantum nilai probabilitas indeks SSE pada saat level senilai 0,0533,
masih di atas nilai alfa sebesar 0,05. Sedangkan nilai probabilitas pada saat first
difference senilai 0,0000 yang mana sudah berada di bawah alfa, sehingga
indeks SSE dikatakan stasioner.
Tabel 7. Hasil
uji stasioner indeks Stoxx 50e pada saat level
Null
Hypothesis: LN_STOXX50E has a unit root
|
|
|||
Exogenous:
Constant
|
|
|
||
Lag
Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
t-Statistic
|
Prob.*
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Augmented
Dickey-Fuller test statistic
|
-4.104809
|
0.0023
|
||
Test
critical values:
|
1% level
|
|
-3.577723
|
|
|
5% level
|
|
-2.925169
|
|
|
10% level
|
|
-2.600658
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*MacKinnon
(1996) one-sided p-values.
|
|
Indeks
Stoxx 50e sudah stasioner pada level karena memiliki nilai probabilitas sebesar
0,0023 (tabel 7), yang mana di bawah nilai alfa (nilai kritis) sebesar 0,05.
Namun, karena variabel yang lain stasioner pada first difference, maka
yang digunakan adalah tingkat first difference. Mengingat syarat
stasioner data penelitian data harus memiliki satu unit roots.
Setelah
diketahui pada tingkat apa semua variabel data stasioner, maka harus dilakukan
analisa stabilitas dari semua variabel data.
Uji stabilitas dilakukan untuk mengetahui pada lag berapa semua variabel
stabil. Syaratnya adalah modulus tertinggi harus mendekati angka 1 dan tidak
boleh lebih dari 1. Dari tabel 7 bisa diketahui data stabil pada lag ke-7
karena memiliki nilai 0,957512 yang mana merupakan modulus paling mendekati 1 sedangkan
pada lag ke-8 tidak bisa dikatakan stabil karena nilai modulud lebih dari 1
yakni 1,091604.
Tabel 8. Hasil
uji stabilitas data pada lag 7
Roots of
Characteristic Polynomial
|
|
Endogenous
variables: D(LN_IHSG) D(LN_FTSE100) D(LN_SSE) LN_STOXX50E
|
|
Exogenous
variables: C
|
|
Lag
specification: 1 7
|
|
Date:
06/03/12 Time: 00:19
|
|
|
|
|
|
Root
|
Modulus
|
|
|
|
|
-0.064742
+ 0.955321i
|
0.957512
|
-0.064742
- 0.955321i
|
0.957512
|
-0.846247
+ 0.423915i
|
0.946487
|
-0.846247
- 0.423915i
|
0.946487
|
0.882086
- 0.285222i
|
0.927053
|
0.882086
+ 0.285222i
|
0.927053
|
0.807415
- 0.446426i
|
0.922614
|
0.807415
+ 0.446426i
|
0.922614
|
0.715489
- 0.570214i
|
0.914915
|
0.715489
+ 0.570214i
|
0.914915
|
0.178609
- 0.889390i
|
0.907147
|
0.178609
+ 0.889390i
|
0.907147
|
-0.439246
+ 0.790524i
|
0.904359
|
-0.439246
- 0.790524i
|
0.904359
|
-0.609414
- 0.645741i
|
0.887900
|
-0.609414
+ 0.645741i
|
0.887900
|
0.376029
+ 0.773654i
|
0.860196
|
0.376029
- 0.773654i
|
0.860196
|
0.512000
+ 0.607762i
|
0.794681
|
0.512000
- 0.607762i
|
0.794681
|
-0.770744
- 0.150732i
|
0.785344
|
-0.770744
+ 0.150732i
|
0.785344
|
0.776913
|
0.776913
|
-0.542804
- 0.532456i
|
0.760359
|
-0.542804
+ 0.532456i
|
0.760359
|
-0.131968
- 0.730704i
|
0.742525
|
-0.131968
+ 0.730704i
|
0.742525
|
0.071644
|
0.071644
|
|
|
|
|
No
root lies outside the unit circle.
|
|
VAR
satisfies the stability condition.
|
Tabel 9. Hasil uji stabilitas data pada lag 8
Roots of
Characteristic Polynomial
|
|
Endogenous
variables: D(LN_IHSG) D(LN_FTSE100) D(LN_SSE) LN_STOXX50E
|
|
Exogenous
variables: C
|
|
Lag
specification: 1 8
|
|
Date:
06/03/12 Time: 00:24
|
|
|
|
|
|
Root
|
Modulus
|
|
|
|
|
1.091604
|
1.091604
|
0.851313
- 0.613660i
|
1.049434
|
0.851313
+ 0.613660i
|
1.049434
|
-0.489983
- 0.885134i
|
1.011704
|
-0.489983
+ 0.885134i
|
1.011704
|
0.882623
+ 0.449636i
|
0.990553
|
0.882623
- 0.449636i
|
0.990553
|
-0.062247
- 0.971847i
|
0.973838
|
-0.062247
+ 0.971847i
|
0.973838
|
0.587976
+ 0.770579i
|
0.969282
|
0.587976
- 0.770579i
|
0.969282
|
-0.395331
- 0.871511i
|
0.956984
|
-0.395331
+ 0.871511i
|
0.956984
|
-0.690748
- 0.661720i
|
0.956560
|
-0.690748
+ 0.661720i
|
0.956560
|
0.163496
+ 0.927866i
|
0.942161
|
0.163496
- 0.927866i
|
0.942161
|
0.034502
+ 0.933024i
|
0.933661
|
0.034502
- 0.933024i
|
0.933661
|
-0.825694
+ 0.414917i
|
0.924081
|
-0.825694
- 0.414917i
|
0.924081
|
0.295719
- 0.872315i
|
0.921077
|
0.295719
+ 0.872315i
|
0.921077
|
0.883732
- 0.256416i
|
0.920180
|
0.883732
+ 0.256416i
|
0.920180
|
-0.838047
+ 0.338659i
|
0.903888
|
-0.838047
- 0.338659i
|
0.903888
|
-0.882023
+ 0.099193i
|
0.887584
|
-0.882023
- 0.099193i
|
0.887584
|
0.649878
- 0.549431i
|
0.851009
|
0.649878
+ 0.549431i
|
0.851009
|
-0.405139
|
0.405139
|
|
|
|
|
Warning:
At least one root outside the unit circle.
|
|
VAR
does not satisfy the stability condition.
|
Tabel 10. Hasil uji optimum lag
VAR Lag
Order Selection Criteria
|
|
|
|
|
||
Endogenous
variables: LN_IHSG LN_FTSE100 LN_SSE LN_STOXX50E
|
|
|
||||
Exogenous
variables: C
|
|
|
|
|
||
Date:
06/03/12 Time: 00:39
|
|
|
|
|
||
Sample:
2008M01 2012M04
|
|
|
|
|
||
Included
observations: 48
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lag
|
LogL
|
LR
|
FPE
|
AIC
|
SC
|
HQ
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
0
|
153.3390
|
NA
|
2.33e-08
|
-6.222459
|
-6.066525
|
-6.163531
|
1
|
323.8574
|
305.5121*
|
3.74e-11*
|
-12.66073*
|
-11.88106*
|
-12.36609*
|
2
|
331.9141
|
13.09205
|
5.29e-11
|
-12.32975
|
-10.92635
|
-11.79941
|
3
|
347.3279
|
22.47854
|
5.62e-11
|
-12.30533
|
-10.27820
|
-11.53927
|
4
|
359.3575
|
15.53819
|
7.14e-11
|
-12.13989
|
-9.489027
|
-11.13813
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*
indicates lag order selected by the criterion
|
|
|
|
|||
LR:
sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
|
|
|
||||
FPE:
Final prediction error
|
|
|
|
|
||
AIC:
Akaike information criterion
|
|
|
|
|
||
SC:
Schwarz information criterion
|
|
|
|
|
||
HQ:
Hannan-Quinn information criterion
|
|
|
|
Berdasarkan
hasil uji optimum lag pada tabel 10, maka lag optimapada lag ke-1, sebagaimana
ditandai dengan tanda bintang (*) pada Akaike Information Criteria (AIC)
dan Schwarz Criteria (SC)
2)
Hasil Estimasi Kointegrasi Johansen (Johansen Cointegration Test)
Uji kointegrasi
Johansen dilakukan untuk mengetahui apakah analisa harus menggunakan pendekatan
Vector Auto Regression (VAR) atau menggunakan pendekatan Vector Error
Correction Model (VECM). Pendekatan VAR digunakan jika tidak terdapat tanda
bintang (*) pada kolom hipotesa. Jika terdapat satu bintang atau lebih, maka
menggunakan pendekatan VECM. Hasil uji kointegrasi Johansen pada tabel 11
menunjukkan adanya bintang, maka analisa data harus menggunakan pendekatan
VECM.
Tabel 11. Hasil
uji kointegrasi Johansen
Date:
06/03/12 Time: 00:55
|
|
|
||
Sample
(adjusted): 2008M09 2012M04
|
|
|
||
Included
observations: 44 after adjustments
|
|
|||
Trend
assumption: Quadratic deterministic trend
|
|
|||
Series:
LN_IHSG LN_FTSE100 LN_SSE LN_STOXX50E
|
|
|||
Lags
interval (in first differences): 1 to 7
|
|
|||
|
|
|
|
|
Unrestricted
Cointegration Rank Test (Trace)
|
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Hypothesized
|
|
Trace
|
0.05
|
|
No. of CE(s)
|
Eigenvalue
|
Statistic
|
Critical Value
|
Prob.**
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
None *
|
0.912463
|
236.6208
|
55.24578
|
0.0000
|
At most 1 *
|
0.837288
|
129.4503
|
35.01090
|
0.0000
|
At most 2 *
|
0.572079
|
49.55637
|
18.39771
|
0.0000
|
At most 3 *
|
0.242298
|
12.20845
|
3.841466
|
0.0005
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Trace
test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
|
||||
*
denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
|
||||
**MacKinnon-Haug-Michelis
(1999) p-values
|
|
Berdasarkan
hasil kointegrasi, kriteria untuk
pengujian kointegrasi ini berdasarkan trace statistic yang dibandingkan dengan
nilai taraf nyata, yaitu 5%, semua variabel ada dalamtaraf nyata, dengan ini
maka hasil penelitian dilanjutkan ke model VECM.
Tabel 12. Hasil
Estimasi vector error correction
Variabel
|
koefisien
|
T-statistik
|
T-tabel
|
FTSE
100
|
(0,37478)
|
[-7,80666]
|
2,011741
|
SSE
|
(0,07995)
|
[-3,40269]
|
2,011741
|
Stoxx
50e
|
(0,32406)
|
[2.78396]
|
2,011741
|
Berdasarkan
tabel 12, maka bisa diambil keterangan sebagai berikut:
a)
FTSE
100 memiliki t-statistik senilai 7,81 yang mana lebih besar dari t-tabel, maka indeks
FTSE 100 berpengaruh terhadap IHSG secara signifikan dalam jangka panjang.
b)
Indeks
SSE memiliki t-statistik dengan nilai 3,40 yang mana lebih besar dari t-tabel,
maka indeks SSE berpengaruh secara signifikan terhadap IHSG dalam jangka panjang.
c)
Indeks
Stoxx 50e memiliki t-statistik sebesar 2,78 yang mana lebih besar dari t-tabel,
maka indeks Stoxx 50e memiliki pengaruh signifikan terhadap IHSG dalam jangka panjang.
3)
Hasil Estimasi VECM
Hasil impulse response function (IRF)
Hasil
impulse response function (IRF) dari model yang diestimasi, bisa dilihat pada gambar 3 yang
mana merupakan hasil mengkonfirmasikan respon antar variabel-variabel. Dari gambar 3, bisa dianalisa
hubungan IHSG dengan IHSG adalah pengaruh positif bergejolak. Artinya, jika ada
shock maka IHSG akan mengalami gejolak yang signifikan, terutama pada
periode 5 awal, kemudian mengalami penurunan setelahnya.
Sedangkan
respon IHSG terhadap indeks FTSE 100 adalah negatif. Artinya, jika terjadi
perkembangan di indeks FTSE 100, maka IHSG akan mengalami penurunan yang
signifikan. Begitu juga jika terjadi shock pada pasar FTSE 100, maka
yang terjadi adalah IHSG akan mengalami pergerakan positif terutama pada 10
periode awal. Hal ini lebih dikarenakan jika terjadi gejolak di pasar Eropa,
maka investor akan beralih mencari pasar lain untuk investasi dan transaksi
dalam pasar modal. Capital inflow akan beralih ke pasar negara
berkembang, tidak terkecuali Indonesia.
IHSG
memiliki respon terhadap apa yang terjadi pada indeks SSE dan indeks Stoxx 50e.
Itu artinya jika terjadi shock pada pasar ini, maka IHSG juga akan
mengalami kelesuan. Begitu juga sebaliknya, jika terjadi pergerakan positif
pada indeks SSE dan indeks Stoxx 50e, maka IHSG akan mengalami pergerakan yang
positif. Meskipun keduanya memiliki pengaruh yang positif, akan tetapi kadar
pengaruh keduanya berbeda
Gambar
3. Hasil impulse response function (IRF)
Hasil variance
decomposition
Variance
decomposition menggambarkan
seberapa besar variabel mem-pengaruhi variabel lainnya. Gambar 4 diatas
merepresantasikan variabel yang membpengaruhi IHSG adalah IHSG itu sendiri
sebesar 65%. Indeks FTSE 100 mempengaruhi pergerakan IHSG sebesar 23%,
sedangkan sisanya merupakan kombinasi indeks SSE dan indeks Stoxx 50e dengan
prosentase indeks SSE lebih besar dari indeks Stoxx 50e.
Gambar 4. Hasil
variance decomposition
KESIMPULAN DAN
SARAN
Iklim investasi di Indonesia lebih
besar dipengaruhi oleh pergerakan IHSG itu sendiri dengan prosentase sebesar
65%. Sementara indeks FTSE 100 berpengaruh negatif terhada pergerakan IHSG.
Jika terjadi shock pada indeks ini, maka IHSG akan tetap bergerak
positif, begitu juga sebaliknya. Indeks SSE dan indeks Stoxx 50e berpengaruh
positif terhadap pergerakan IHSG. Jika ada shock pada kedua indeks tersebut,
maka IHSG akan merespon negatif, begitu juga sebaliknya.
Krisis di negara Eropa yang selama
ini diwacanakan akan berpengaruh negatif secara langsung pada pergerakan IHSG
secara empiris tidak terbukti. Shock yang dialami indeks Eropa karena
krisis hutang yang melilit negara-negara Eropa justru menjadi peluang bagi
Indonesia untuk mendapatkan capital inflow yang besar karena adanya
kemungkinan investor memilih pasar modal yang lebih potensial untuk investasi
dan transaksinya.
Sebaliknya, resesi ekonomi yang
mungkin dialami Cina berpengaruh secara langsung pada pergerakan IHSG. Hal ini
lebih dikarenakan Indonesia sangat ketergantungan pada impor dari negara Cina.
Cina banyak mengekspor barang konsumsi publik ke Indonesia, sehingga jika
terjadi pada resesi ekonomi di negara tersebut yang mengakibatkan lesunya pergerakan
pasar modal dalam negeri, maka akan berdampak negatif pada iklim investasi
Indonesia.
Para investor tidak perlu pesimis
atas pergerakan IHSG yang diwacanakan tergerus oleh krisis negara Eropa karena
pasar dalam negeri masih tetap kondusif dan potensial membawa keuntungan. Akan
tetapi pemerintah juga harus memberikan plesure yang lebih dengan
memberikan kemudahan dan jaminan bagi investor agar masih tetap menyalurkan
modalnya pada pasar dalam negeri.
BIBLIOGRAFI
Enders, Walter. 2004. “Applied
Econometrics Time Series.” 2nd Edition, John Wiley and Sons: New York.
Harris, Richard and
Sollis, Robert. 2003. “Applied Time Series Modelling and Forecasting.”
John Wiley and Sons.
Hasan, Iqbal. 2004. Analisis
Data Penelitian Dengan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara.
Inggrid. Sektor Keuangan dan
Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Pendekatan Kausalitas dalam Multivariate
Vector Error Correction Model (VECM). JURNAL MANAJEMEN DAN KEWIRAUSAHAAN,
VOL.8, NO. 1, MARET 2006: 40-50
www.bisnis.com
www.bisnis.vivanews.com
www.finance.detik.com
www.finance.yahoo.com
www.ftse.com
www.kitco.com
www.sse.com.cn
www.waspada.co.id
[1] Penulis
merupakan mahasiswa STEI Tazkia tinggkat ke-3, jurusan Manajemen Keuangan
Islam. Email: rizalrazib@gmail.com
[2]
Lihat “Krisis Eropa: Harga Minyak Anjlok Dipicu Kekhawatiran spanyol” di http: //www.bisnis.com/articles/krisis-eropa-harga-minyak-anjlok-dipicu-kekhawatiran-spanyol
diakses pada tangga 31 Mei 2012.
[3]
Lihat “Wall Street Anjlok 1% Terseret Krisis Eropa” di http://finance.detik.com/read/wall-street-anjlok-1-terseret-krisis-eropa
diakses pada tanggal 31 Mei 2012.
[4]
Lihat “Krisis Italia Menebar Ketakutan, Saham Jatuh” di http://bisnis.vivanews.com/news/
antisipasi-krisis--indonesia-lebih-siap diakses pada tanggal 1 Juni 2012.
[5] Lihat
“Ekonomi China Terancam Utang Eropa” di http://waspada.co.id//
ekonomi-china-terancam-utang-eropa diakses pada tanggal 2 Juni 2012.
[6] Lihat
“Krisis Eropa, Asia Dapat Terkena Imbas” di http://www.bisnis.com/articles/krisis-eropa-asia-dapat-terkena-imbas
diakses pada tanggal 2 Juni 2012.
[7] Kunjungi
www.ftse.com
[8] Kunjungi
www.sse.com.cn
[9] Harris,
Richard and Sollis, Robert. 2003. “Applied Time Series Modelling and
Forecasting.” John Wiley and Sons. Serta Enders, Walter. 2004. “Applied
Econometrics Time Series.” 2nd Edition, John Wiley and Sons: New
York.
0 komentar:
Posting Komentar