Headline

IMAGE-1 IMAGE-2 IMAGE-3 IMAGE-4 IMAGE-5 IMAGE-5

Kamis, 14 Juni 2012

KRISIS HUTANG EROPA DAN RESESI EKONOMI CINA, DAMPAKNYA TERHADAP IKLIM INVESTASI DI INDONESIA; Pendekatan Kausalitas Vector Error Correction Model (VECM)

Download

Oleh:
Rizal Razib Abdillah[1]

Abstract:
Krisis gagal bayar yang dialami negara-negara Eropa dewasa ini membuat wacana negatif bagi para pelaku pasar modal (investor) dalam maupun luar negeri untuk tetap menanamkan modalnya di Indonesia. Cina, negara yang memiliki pangsa besar di Eropa dan Amerika berpotensi mengalami resesi ekonomi karena kurangnya permintaan dari negara-negara kawasan tersebut akibat krisis yang melanda.
Dengan menggunakan pendekatan Vector Error Correction Model (VECM) dan periode observasi tahun 2008-2012, karya tulis ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah krisis Eropa dan resesi ekonomi Cina berdampak negatif pada pergerakan IHSG. Variabel yang digunakan adalah IHSG, indeks FTSE 100, indeks SSE, dan indeks Stoxx 50e. Melalui VECM disimpulkan krisis Eropa tidak berpengaruh negatif langsung terhadap indeks investasi Indoneisa. Sementara resesi ekonomi Cina berdampak negatif pada iklim investasi di Indonesia.


PENDAHULUAN

Krisis Eropa merupakan bentuk krisis utang yang berasal dari Yunani, yang kemudian menjalar ke Irlandia dan Portugal serta menimbulkan efek domino ke beberapa Negara Uni eropa lainnya. Jika dilihat dari kacamata sejarah, Yunani merupakan negara dengan peradaban yang sangat berkembang. Tetapi saat ini, ketika melihat Yunani maka yang didapati adalah sebuah negara dengan corruption perceptions index (CPI) berada pada peringkat 71 dari 180 negara. Ketidak jujuran pemerintah Yunani lah yang mengawali pergerakan hutang pemerintahnya semakin meningkat sehingga menyebabkan negara tersebut mengalami krisis gagal bayar.
Krisis Yunani ini kemudian berlanjut ke Irlandia, Italia, dan Perancis. Belakangan ini, Spanyol disebut-sebut sebagai negara yang akan krisis hutang seperti keempa negara Eropa sebelumnya. Krisis gagal bayar negara Eropa mulai tercium pada akhir tahun 2009 karena kekhawatiran investor atas peningkatan volume hutang pemerintah negara-negara Eropa. Kekhawatiran ini berlanjut hingga awal tahun 2010, tepatnya pada tanggal 9 Mei 2010 para menteri keuangan Uni Eropa menyetujui paket bantuan senilai 750 milliar Euro untuk menyelamatkan stabilitas ekonomi kawasan melalui instrumen EFSF (Europe Financial Stability Facility).
Krisis gagal bayar negara-negara Uni Eropa dewasa ini membawa dampak negatif terhadap perekonomian berbagai negara di dunia. Melemahnya perekonomian dunia ditandai dengan melemahnya harga minyak mentah dunia di berbagai pasar berjangka Eropa. West Texas Interdmediate (WTI), yang berbasis kontrak di New York, mencatat harga minyak dunia ditutup melemah senilai 87,72 USD per barel atau turun sebesar 2,94 USD. Di London, harga minyak jatuh sebesar 3,21 USD per barel menjadi 103,47 USD untuk periode bulan Juli mendatang. Sedangkan mata uang Euro mengalami penurunan drastis sepanjang periode 23 bulan sebesar 0,9% menjadi 1.2370 USD.[2]
Krisis Eropa juga berpengaruh terhadap kenaikan harga emas dalam mata uang euro. Pada awal Januari 2008 harga emas haya sebesar 604,46 euro per troy emas. Harga emas terus meningkat seiring pukulan krisis mencapai level 1.317,73 pada Februari 2012. Kenaikan harga terhadap mata uang euro bisa dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Harga Emas dalam Euro (2008-2012)
Sumber: www.kitco.com (diolah)
Selain itu, krisis Eropa juga memicu melemahnya indeks harga saham gabungan di berbagai negara. Baik di negara kawasan Uni Eropa maupun negara non kawasan Uni Eropa. Index Dow Jones menunjukkan turun 160,83 poin (1,28%) ke level 12.419,86. Indeks S&P 500 juga melemah 19,1 poin (1,43%) ke level 1.313,32. Sedangkan indeks Nasdaq mengalami penurunan hingga level 2.837,36 atau sebesar 33,63 (1,17%).[3] Untuk Indeks S&P 500 selama bulan ini terkoreksi hampir 6% selama bulan ini. Keadaan ini merupakan kinerja terburuk sejak September 2011.
Tidak hanya di negara Amerika Serikat, penurunan harga saham gabungan di beberapa negara Asia juga mengalami kelesuan yang signifikan, termasuk Indonesia. Indeks Nikkei mengalami penurunan rata-rata sebesar 2,5%, indeks saham Australia jatuh sebesar 3,1%, sedangkan indeks MSCI Asia Pasifik, selain negara Jepangmelemah sebesar 1,1%.[4]
Cina, negara penggerak ekspor-impor barang pabrik dunia pasca krisis global 2008 juga ikut terkena dampak krisis Eropa saat ini. Saat ini perekonomian Cina mengalami resesi pertumbuhan ekonomi hinggal level 8,4% dari tahun sebelumnya sebesar 9%. Proyeksi pertumbuhan Cina tahun 2012 sebesar 8,2%, tetapi banyak analis yang menyangsikannya. Bahkan bila krisis Eropa menjadi berkepanjangan dan berujung pada resesi ekonomi global, IMF memprediksikan ekonomi Cina hanya akan tumbuh 4%, turun setengahnya dari ekspektasi 8%.[5]
Resesi ekonomi Cina bisa terjadi karena pasar ekspor negara ini adalah Eropa dan Amerika. Pada tahun 2010, 20% pasar ekspor produk Cina adalah Eropa, sedangkan negara Amerika hanya sebesar 18%.[6] Oleh karenanya, pasti ada hubungan ekonomi antara pemasok barang (Cina) dan negara tujuan, sehingga ketika negara tujuan mengalami krisi ekonomi dan konsumsi menurun, maka negara pemasok pun akan terkena imbas ekonomi karena berkurangnya permintaan barang.
Sementara itu, Cina memegang peranan penting dalam memasok kebutuhan konsumen Asia. Rancangan 5 tahun (2011-2015), Cina memiliki semua bahan yang diperlukan untuk membangun bantalan dinamisme antara dunia Timur dan Krisis Eropa. Negara berkembang di Asia tidak terlalu terpengeruh secara signifikan oleh krisis yang terjadi di negara Eropa. Hal ini karena tujuan ekspor negara berkembang turun menjadi 20% pada tahun 2010 dari tahun 1998-1999 yag mana sebesar 34%. Sedangkan ketergantunga Asia pada ekspor intra-regional atau perdaganagn dalam kawasan sebesar pada tahun yang sama meningkat menjadi 36% total ekspor negara berkembang pada tahun 1998 menjadi 44% pada tahun 2010. Sehingga resesi ekonomi Cina yang disebabkan oleh krisis ekonomi negara Eropa bisa memberikan dampak negatif terhadap iklim investasi di negara berkembang Asia, tidak terkecuali Indonesia.
Karya tulis ini ingin mengetahui seberapa krisis Eropa dan resesi rkonomi Cina mempengaruhi investasi pasar modal di Indonesia, yang ditandai dengan pergerkan IHSG Indonesia selama periode 2008-2012, hingga saat terakhir tulisan ini dibuat.

KAJIAN TEORI
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) atau disebut juga Jakarta Composit Index (JCI) merupakan salah satu indeks saham yang digunakan dalam Bursa Efek Indonesia (BEI). Diperkenalkan pertama kali pada tanggal 1 April 1983 sebagai indikator pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Indeks ini mencakup pergerakan seluruh saham biasa dan saham preferen yang tercatat di BEI. Pada tanggal 1982 IHSG ditetapkan dengan nilai dasar  (basis poin)100 dan saham yang tercatat pada wakt itu berjumlah 13 saham perusahaan. IHSG pernah mencatat posisi tertinggi pada tanggal 1 Agustus 2011 di level 4.193,44 poin.
IHSG terdiri dari sembilan komponen yang tercatat dalam Bursa Efek Indonesia (BEI), yaitu pertanian, pertambangan, industri dasar, aneka industri, industri barang konsumsi, properti, infrastruktur, keuangan, dan perdagangan.
Indeks FTSE 100
FTSE 100 merupakan indeks gabungan dari indeks saham 100 perusahaan dengan kapitalisasi terbesar di London Stock Exchange (LSE). Indeks 100 perusahan yang ada di dalamnya merupakan indeks “blue chips” yang menjadi cerminan dari performa semua perusahaan Eropa yang tergabung dalam LSE.[7]
Indeks ini dioperasikan oleh FTSE group yang mana merupakan perusahaan independen kombinasi Financial Times dan London Stock Exchange (LSE). Diluncurkan pada tanggal 4 Januari 1984 dengan basis nilai 1000. Nilai tertingginya dicapai pada tanggal 30 Desember 1999 dengan level 6.950,6. Pada Maret 2009, FTESE 100 mencapai titik terendahnya pada level 3.500 karena goncangan krisis global 2007-2008.
Sepulu perusahaan dengan kapitalisasi terbesar adalah BHP Billiton yang bergerak di bidang pertambangan, Royal dutch Shell di bidang minyak dan gas, HSBC pada jasa keuangan, Vodafone group di bidang telekomunikasi, British Pretoleum di bidang minyak dan gas, Rio Tinto group pada pertambangan, Glaxo smith Kline pada bidang farmasi, Unilever di barang konsumsi, British American Tobacco pada bisnis tembakau, dan BG group di bidang minyak dan gas.
Indeks Stoxx 50e
Indeks Stoxx 50 adalah indeks yang menunjukkan performa saham blue chip di kawasan Eropa. Indeks ini mencakup 50 saham perusahaan yang memiliki kapitalisasi terbesar dari 12 negara Eropa, seperti Austria, Belgia, Finlandia, Perancis, Jerman, Irlandia, Italia, Luxemburg, Belanda, Portugal, dan Spanyol. Indeks Stoxx 50 memiliki lisensi sebagai lembaga keuangan sebagai kelas acuan produk-produk investasi, seperti Exchange Traded Funds (ETF), kontrak derivatif futures dan options, serta beberapa produk investasi lainnya.
Indeks ini dimiliki oleh Deutsche Borse AG dan SIX Group AG. Tujuannya adalah untuk merepresentasikan saham blu-chip perusahaan yang menjadi pemimpin saham-saham supersekto di kawasan Eropa.
Indeks SSE
Indeks The Shanghai Stock Exchange (SSE) adalah indeks gabungan dari semua saham yang diperdagangkan di Shanghai Stock Exchange (SSE). Diluncurkan pada 15 Juli 1991 dengan nilai kapitalisasi pasar gabungan seluruh indeks saham sebagai periode dasarnya. Nilai dasar (based value) yang dipakai adalah 100.
Tahun 2006, SSE memiliki 152 anggota yang terdaftar dengan 139 perusahaan sekuritas dan 13 perushaan non-sekuritas. Pada akhir Desember 2007, lebih dari 71,3 juta investor dan 860 perusahaan terdaftar sebagai anggota dari indeks SSE dengan total nilai modal sebesar 661,6 milliar RMB.[8] 

DATA DAN METODOLOGI ANALISA DATA
1.                       Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam karya tulis ini adalah data sekunder yang didapat dari berbagai jenis kajian literatur seperti buku teori, jurnal, majalah, koran, dan website internet terkait lainnya. Periode data penelitian berkisar dari Januari 2008 sampai April 2012.
Variabel data yang digunakan adalah data Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia, FTSE 100, indeks SSE, dan Stoxx 50e. Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain, dalam hal ini adalah FTSE 100, indeks SSE, dan Stoxx 50e. Sedangkan variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain, dalam hal ini adalah IHSG.
Data Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Indeks komposit FTSE 100, indeks SSE dan Stoxx 50e diambil dari situs www.finance.yahoo.com. Sementara data harga emas diambil dari situs www.kitco.com.
2.                  Metode Analisa Data
Unutk menganalisa hubungan antar variabel yang berbasiskan data time series dan tanpa landasan teoritis (ateoritis), maka metode yang digunakan adalah pendekatan Vetor Auto Regression (VAR) atau Vector Error Correction Model (VECM). Sebelum memutuskan menggunakan salah satu model tersebut, maka dibutuhkan beberapa uji data terlebih dahulu.
1)                  Uji Akar-Akar Unit (Unit Root Test)
Estimasi model ekonometrik time series akan menghasilkan kesimpulan yang tidak berarti, ketika data yang digunakan mengandung akar unit (tidak stasioner). Non-stationary seri akan menciptakan kondisi spurious regression yang ditandai oleh tingginya koefisien determinasi, R2 dan t statistik tampak signifikan, tetapi penafsiran hubungan seri ini secara ekonomi akan menyesatkan (Harris dan Sollis: 2003, serta Enders: 2004).[9]
Sebuah seri dikatakan stasioner, jika seluruh moment dari seri tersebut (rata-rata, varians dan kovarians) konstan sepanjang periode waktu. Augmented Dickey–Fuller Test (ADF test) merupakan prosedur standar, untuk menguji hipotesis nol (H0) terdapatnya akar unit (seri tidak stasioner) terhadap hipotesis alternatif (H1) yang merupakan sebuah seri stasioner. Jika Yt adalah seri dengan panjang lag p, maka:
 
                                                                                      (1)
Dimana  mengikui proses white noise
 
 

Dalam persamaan (1), hipotesis nol adalah γ = 0 melawan hipotesis alternatif γ < 0. Jika nilai statistik ADF secara absolut lebih kecil dibandingkan nilai kritis MacKinnon, maka terjadi penerimaan terhadap hipotesis nol. Dengan kata lain, Yt mengandung satu akar unit.
Seri yang belum stasioner dapat dijadikan stasioner, melalui proses diferensiasi. Diferensi Yt pada derajat pertama dapat dinyatakan sebagai berikut:

                                                                   (2)
Jika hipotesis nol β1 = 0 ditolak, maka dapat disimpulkan Yt telah stasioner pada derajat pertama, I (1).

2)                  Uji Kointegrasi Johansen (Johansen Cointegration Test)
Kombinasi dari dua seri yang tidak stasioner, akan bergerak ke arah yang sama menuju ekuilibrium jangka panjangnya dan diferensiasi diantara kedua seri tersebut akan konstan. Jika demikian halnya, seri ini dikatakan saling berkointegrasi. Tes kointegrasi antara FTSE 100 dan Stoxx 50e terhadap IHSG dan IHK berdasarkan pendekatan Vector Auto Regressions (VAR) Johansen. Jika vektor Xt adalah vektor variabel endogen dalam VAR dengan panjang lag p, maka:
                               (3)
Dimana:
           = vektor variabel endogen
          = parameter matriks
         = d-vektor dari deterministic variable
           = vektor innovations
Spesifikasi VAR ini dapat dinyatakan dalam bentuk first difference sebagai,
                                          (4)
 
 
I = matriks identitas
Jika tidak terdapat hubungan kointegrasi, model unrestricted VAR dapat diaplikasikan. Tetapi, bila terdapat hubungan kointegrasi antar seri, model Vector Error Correction (VECM) yang dipergunakan. Jumlah vektor kointegrasi diperolah dengan melihat signifikansi dari Π, melalui dua likelihood test:
Maximum eigenvalue:                                  (5)
                         = nilai estimasi eigenvalue yang diperoleh dari estimasi terhadap matriks
T                        = jumlah observasi
Trace statistic:                           (6)

3)             Uji Kausalitas Granger (Granger Causality) berdasarkan Error Correction Model (ECM)
Tes kausalitas antara IHSG, Indeks FTSE 100, Indeks SSE, dan indeks Stoxx 50e berdasarkan kausalitas Granger. Kausalitas antara dua seri X1t dan X2t pada p order VAR:
                                                                         (7)
                                             (8)
                                                                           (9)
                                           (10)
Dimana:
                     (11)

ANALISA DAN PEMBAHASAN
Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung melemah pada tahun 2009 karena imbas krisis hutang Eropa, meskipun lambat laun IHSG semakin membaik. Data skema perubahan IHSG bisa dilihat pada gambar 2. Pada gambar 2 bisa diketahui IHSG mencapai level 1.976,23 pada awal tahun 2009. Namun, pelemahan IHSG lebih diakibatkan karena adanya krisis globabl yang mendera dunia pada tahun 2008 silam.
Gambar 2. Pergerakan IHSG tahun 2008-2012
Sumber: yahoo (finance.yahoo.com)
Bagaimanapun, pergerakan IHSG merupakan sebuah indikator iklim investasi di Indonesia.  Akan tetapi tekanan krisis Eropa menjadikan tekanan tersendiri pada pergerakan IHSG sebagai indikasi kekondusifan investasi di pasar modal Indonesia. Iklim investasi yang mendukung sangat menentukan capital inflow yang datang ke suatu negara dari negara lain. Secara normal, jika iklim investasi mendukung, maka pertumbuhan ekonomi negara akan berkembang karena tersedia banyak modal yang bisa digunakan dalam aktivitas ekonomi.
HASIL-HASIL UJI EMPIRIS
1)                  Uji Akar-akar Unit (Unit Root Test)
Tabel dibawah ini  menyajikan hasil uji akar-akar unit. Berdasarkan uji akar-akar unit ADF, seluruh seri yang digunakan dalam penelitian ini baru stasioner setelah di diferensiasikan pada orde kedua, I(2).
Tabel 1. Hasil uji stasioner IHSG pada saat level
Null Hypothesis: LN_IHSG has a unit root

Exogenous: Constant


Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)













t-Statistic
  Prob.*










Augmented Dickey-Fuller test statistic
-0.390493
 0.9028
Test critical values:
1% level

-3.565430


5% level

-2.919952


10% level

-2.597905











*MacKinnon (1996) one-sided p-values.






Tabel 2. Hasil uji stasioner IHSG pada saat first differece
Null Hypothesis: D(LN_IHSG) has a unit root

Exogenous: Constant


Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)













t-Statistic
  Prob.*










Augmented Dickey-Fuller test statistic
-4.978494
 0.0001
Test critical values:
1% level

-3.568308


5% level

-2.921175


10% level

-2.598551











*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Dapat dilihat dari tabel 1, uji stasioner IHSG pada saat level belum bisa dikatakan stasioner karena nilai probabilitasnya sebesar 0,9028 masih di atas alfa sebesar 0,05. Dari tabel 2 bisa dilihat nilai probabilitas sebesar 0,0001 sudah di bawah alfa, jadi data IHSG baru bisa dikatakan stasioner.
Tabel 3. Hasil uji stasioner FTSE 100 pada saat level
Null Hypothesis: LN_FTSE100 has a unit root

Exogenous: Constant


Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)













t-Statistic
  Prob.*










Augmented Dickey-Fuller test statistic
-1.559716
 0.4956
Test critical values:
1% level

-3.565430


5% level

-2.919952


10% level

-2.597905











*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Tabel 4. Hasil uji stasioner FTSE 100 pada saat first difference
Null Hypothesis: D(LN_FTSE100) has a unit root
Exogenous: Constant


Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)













t-Statistic
  Prob.*










Augmented Dickey-Fuller test statistic
-6.122545
 0.0000
Test critical values:
1% level

-3.568308


5% level

-2.921175


10% level

-2.598551











*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Tabel 3 menunjukkan nilai probabilitas FTSE 100 pada saat level sebesar 0,4956 yang mana masih di atas nilai alfa sebesa 0,05. Sedangkan pada tabel 4, nilai probabilitas FTSE 100 senilai 0,0000 sudah diatas nilai alfa, sehingga pada saat first difference FTSE 100 dikatakan stasioner.
Tabel 5. Hasil uji stasioner indeks SSE pada saat level
Null Hypothesis: LN_SSE has a unit root

Exogenous: Constant


Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)













t-Statistic
  Prob.*










Augmented Dickey-Fuller test statistic
-2.891491
 0.0533
Test critical values:
1% level

-3.565430


5% level

-2.919952


10% level

-2.597905











*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Tabel 6. Hasil uji stasioner indeks SSE pada first difference
Null Hypothesis: D(LN_SSE) has a unit root

Exogenous: Constant


Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)













t-Statistic
  Prob.*










Augmented Dickey-Fuller test statistic
-7.342039
 0.0000
Test critical values:
1% level

-3.568308


5% level

-2.921175


10% level

-2.598551











*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Pada tabel 5 tercantum nilai probabilitas indeks SSE pada saat level senilai 0,0533, masih di atas nilai alfa sebesar 0,05. Sedangkan nilai probabilitas pada saat first difference senilai 0,0000 yang mana sudah berada di bawah alfa, sehingga indeks SSE dikatakan stasioner.
Tabel 7. Hasil uji stasioner indeks Stoxx 50e pada saat level
Null Hypothesis: LN_STOXX50E has a unit root

Exogenous: Constant


Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)













t-Statistic
  Prob.*










Augmented Dickey-Fuller test statistic
-4.104809
 0.0023
Test critical values:
1% level

-3.577723


5% level

-2.925169


10% level

-2.600658











*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Indeks Stoxx 50e sudah stasioner pada level karena memiliki nilai probabilitas sebesar 0,0023 (tabel 7), yang mana di bawah nilai alfa (nilai kritis) sebesar 0,05. Namun, karena variabel yang lain stasioner pada first difference, maka yang digunakan adalah tingkat first difference. Mengingat syarat stasioner data penelitian data harus memiliki satu unit roots.
Setelah diketahui pada tingkat apa semua variabel data stasioner, maka harus dilakukan analisa stabilitas dari semua variabel data.  Uji stabilitas dilakukan untuk mengetahui pada lag berapa semua variabel stabil. Syaratnya adalah modulus tertinggi harus mendekati angka 1 dan tidak boleh lebih dari 1. Dari tabel 7 bisa diketahui data stabil pada lag ke-7 karena memiliki nilai 0,957512 yang mana merupakan modulus paling mendekati 1 sedangkan pada lag ke-8 tidak bisa dikatakan stabil karena nilai modulud lebih dari 1 yakni 1,091604.
Tabel 8. Hasil uji stabilitas data pada lag 7
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: D(LN_IHSG) D(LN_FTSE100) D(LN_SSE) LN_STOXX50E 
Exogenous variables: C 
Lag specification: 1 7
Date: 06/03/12   Time: 00:19




     Root
Modulus




-0.064742 + 0.955321i
 0.957512
-0.064742 - 0.955321i
 0.957512
-0.846247 + 0.423915i
 0.946487
-0.846247 - 0.423915i
 0.946487
 0.882086 - 0.285222i
 0.927053
 0.882086 + 0.285222i
 0.927053
 0.807415 - 0.446426i
 0.922614
 0.807415 + 0.446426i
 0.922614
 0.715489 - 0.570214i
 0.914915
 0.715489 + 0.570214i
 0.914915
 0.178609 - 0.889390i
 0.907147
 0.178609 + 0.889390i
 0.907147
-0.439246 + 0.790524i
 0.904359
-0.439246 - 0.790524i
 0.904359
-0.609414 - 0.645741i
 0.887900
-0.609414 + 0.645741i
 0.887900
 0.376029 + 0.773654i
 0.860196
 0.376029 - 0.773654i
 0.860196
 0.512000 + 0.607762i
 0.794681
 0.512000 - 0.607762i
 0.794681
-0.770744 - 0.150732i
 0.785344
-0.770744 + 0.150732i
 0.785344
 0.776913
 0.776913
-0.542804 - 0.532456i
 0.760359
-0.542804 + 0.532456i
 0.760359
-0.131968 - 0.730704i
 0.742525
-0.131968 + 0.730704i
 0.742525
 0.071644
 0.071644




 No root lies outside the unit circle.
 VAR satisfies the stability condition.

Tabel 9. Hasil uji stabilitas data pada lag 8
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: D(LN_IHSG) D(LN_FTSE100) D(LN_SSE) LN_STOXX50E 
Exogenous variables: C 
Lag specification: 1 8
Date: 06/03/12   Time: 00:24




     Root
Modulus




 1.091604
 1.091604
 0.851313 - 0.613660i
 1.049434
 0.851313 + 0.613660i
 1.049434
-0.489983 - 0.885134i
 1.011704
-0.489983 + 0.885134i
 1.011704
 0.882623 + 0.449636i
 0.990553
 0.882623 - 0.449636i
 0.990553
-0.062247 - 0.971847i
 0.973838
-0.062247 + 0.971847i
 0.973838
 0.587976 + 0.770579i
 0.969282
 0.587976 - 0.770579i
 0.969282
-0.395331 - 0.871511i
 0.956984
-0.395331 + 0.871511i
 0.956984
-0.690748 - 0.661720i
 0.956560
-0.690748 + 0.661720i
 0.956560
 0.163496 + 0.927866i
 0.942161
 0.163496 - 0.927866i
 0.942161
 0.034502 + 0.933024i
 0.933661
 0.034502 - 0.933024i
 0.933661
-0.825694 + 0.414917i
 0.924081
-0.825694 - 0.414917i
 0.924081
 0.295719 - 0.872315i
 0.921077
 0.295719 + 0.872315i
 0.921077
 0.883732 - 0.256416i
 0.920180
 0.883732 + 0.256416i
 0.920180
-0.838047 + 0.338659i
 0.903888
-0.838047 - 0.338659i
 0.903888
-0.882023 + 0.099193i
 0.887584
-0.882023 - 0.099193i
 0.887584
 0.649878 - 0.549431i
 0.851009
 0.649878 + 0.549431i
 0.851009
-0.405139
 0.405139




 Warning: At least one root outside the unit circle.
 VAR does not satisfy the stability condition.

Tabel 10. Hasil uji optimum lag
VAR Lag Order Selection Criteria




Endogenous variables: LN_IHSG LN_FTSE100 LN_SSE LN_STOXX50E 


Exogenous variables: C 




Date: 06/03/12   Time: 00:39




Sample: 2008M01 2012M04




Included observations: 48


















 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ














0
 153.3390
NA 
 2.33e-08
-6.222459
-6.066525
-6.163531
1
 323.8574
  305.5121*
  3.74e-11*
 -12.66073*
 -11.88106*
 -12.36609*
2
 331.9141
 13.09205
 5.29e-11
-12.32975
-10.92635
-11.79941
3
 347.3279
 22.47854
 5.62e-11
-12.30533
-10.27820
-11.53927
4
 359.3575
 15.53819
 7.14e-11
-12.13989
-9.489027
-11.13813














 * indicates lag order selected by the criterion



 LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)


 FPE: Final prediction error




 AIC: Akaike information criterion




 SC: Schwarz information criterion




 HQ: Hannan-Quinn information criterion



Berdasarkan hasil uji optimum lag pada tabel 10, maka lag optimapada lag ke-1, sebagaimana ditandai dengan tanda bintang (*) pada Akaike Information Criteria (AIC) dan Schwarz Criteria (SC)

2)                  Hasil Estimasi Kointegrasi Johansen (Johansen Cointegration Test)
Uji kointegrasi Johansen dilakukan untuk mengetahui apakah analisa harus menggunakan pendekatan Vector Auto Regression (VAR) atau menggunakan pendekatan Vector Error Correction Model (VECM). Pendekatan VAR digunakan jika tidak terdapat tanda bintang (*) pada kolom hipotesa. Jika terdapat satu bintang atau lebih, maka menggunakan pendekatan VECM. Hasil uji kointegrasi Johansen pada tabel 11 menunjukkan adanya bintang, maka analisa data harus menggunakan pendekatan VECM.
Tabel 11. Hasil uji kointegrasi Johansen
Date: 06/03/12   Time: 00:55


Sample (adjusted): 2008M09 2012M04


Included observations: 44 after adjustments

Trend assumption: Quadratic deterministic trend

Series: LN_IHSG LN_FTSE100 LN_SSE LN_STOXX50E 

Lags interval (in first differences): 1 to 7






Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)











Hypothesized

Trace
0.05

No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
Prob.**










None *
 0.912463
 236.6208
 55.24578
 0.0000
At most 1 *
 0.837288
 129.4503
 35.01090
 0.0000
At most 2 *
 0.572079
 49.55637
 18.39771
 0.0000
At most 3 *
 0.242298
 12.20845
 3.841466
 0.0005










 Trace test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
 * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
 **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Berdasarkan hasil kointegrasi,  kriteria untuk pengujian kointegrasi ini berdasarkan trace statistic yang dibandingkan dengan nilai taraf nyata, yaitu 5%, semua variabel ada dalamtaraf nyata, dengan ini maka hasil penelitian dilanjutkan ke model VECM.

Tabel 12. Hasil Estimasi vector error correction
Variabel
koefisien
T-statistik
T-tabel
FTSE 100
(0,37478)
[-7,80666]
2,011741
SSE
(0,07995)
[-3,40269]
2,011741
Stoxx 50e
(0,32406)
[2.78396]
2,011741
Berdasarkan tabel 12, maka bisa diambil keterangan sebagai berikut:
a)      FTSE 100 memiliki t-statistik senilai 7,81 yang mana lebih besar dari t-tabel, maka indeks FTSE 100 berpengaruh terhadap IHSG secara signifikan dalam jangka panjang.
b)      Indeks SSE memiliki t-statistik dengan nilai 3,40 yang mana lebih besar dari t-tabel, maka indeks SSE berpengaruh secara signifikan terhadap IHSG dalam jangka panjang.
c)      Indeks Stoxx 50e memiliki t-statistik sebesar 2,78 yang mana lebih besar dari t-tabel, maka indeks Stoxx 50e memiliki pengaruh signifikan terhadap IHSG dalam jangka panjang.

3)                  Hasil Estimasi VECM
Hasil impulse response function (IRF)
Hasil impulse response function (IRF) dari model yang diestimasi, bisa dilihat pada gambar 3 yang mana merupakan hasil mengkonfirmasikan respon antar variabel-variabel. Dari gambar 3, bisa dianalisa hubungan IHSG dengan IHSG adalah pengaruh positif bergejolak. Artinya, jika ada shock maka IHSG akan mengalami gejolak yang signifikan, terutama pada periode 5 awal, kemudian mengalami penurunan setelahnya.
Sedangkan respon IHSG terhadap indeks FTSE 100 adalah negatif. Artinya, jika terjadi perkembangan di indeks FTSE 100, maka IHSG akan mengalami penurunan yang signifikan. Begitu juga jika terjadi shock pada pasar FTSE 100, maka yang terjadi adalah IHSG akan mengalami pergerakan positif terutama pada 10 periode awal. Hal ini lebih dikarenakan jika terjadi gejolak di pasar Eropa, maka investor akan beralih mencari pasar lain untuk investasi dan transaksi dalam pasar modal. Capital inflow akan beralih ke pasar negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.
IHSG memiliki respon terhadap apa yang terjadi pada indeks SSE dan indeks Stoxx 50e. Itu artinya jika terjadi shock pada pasar ini, maka IHSG juga akan mengalami kelesuan. Begitu juga sebaliknya, jika terjadi pergerakan positif pada indeks SSE dan indeks Stoxx 50e, maka IHSG akan mengalami pergerakan yang positif. Meskipun keduanya memiliki pengaruh yang positif, akan tetapi kadar pengaruh keduanya berbeda
Gambar 3. Hasil impulse response function (IRF)
Hasil variance decomposition
Variance decomposition menggambarkan seberapa besar variabel mem-pengaruhi variabel lainnya. Gambar 4 diatas merepresantasikan variabel yang membpengaruhi IHSG adalah IHSG itu sendiri sebesar 65%. Indeks FTSE 100 mempengaruhi pergerakan IHSG sebesar 23%, sedangkan sisanya merupakan kombinasi indeks SSE dan indeks Stoxx 50e dengan prosentase indeks SSE lebih besar dari indeks Stoxx 50e.

Gambar 4. Hasil variance decomposition

KESIMPULAN DAN SARAN
Iklim investasi di Indonesia lebih besar dipengaruhi oleh pergerakan IHSG itu sendiri dengan prosentase sebesar 65%. Sementara indeks FTSE 100 berpengaruh negatif terhada pergerakan IHSG. Jika terjadi shock pada indeks ini, maka IHSG akan tetap bergerak positif, begitu juga sebaliknya. Indeks SSE dan indeks Stoxx 50e berpengaruh positif terhadap pergerakan IHSG. Jika ada shock pada kedua indeks tersebut, maka IHSG akan merespon negatif, begitu juga sebaliknya.

Krisis di negara Eropa yang selama ini diwacanakan akan berpengaruh negatif secara langsung pada pergerakan IHSG secara empiris tidak terbukti. Shock yang dialami indeks Eropa karena krisis hutang yang melilit negara-negara Eropa justru menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan capital inflow yang besar karena adanya kemungkinan investor memilih pasar modal yang lebih potensial untuk investasi dan transaksinya.
Sebaliknya, resesi ekonomi yang mungkin dialami Cina berpengaruh secara langsung pada pergerakan IHSG. Hal ini lebih dikarenakan Indonesia sangat ketergantungan pada impor dari negara Cina. Cina banyak mengekspor barang konsumsi publik ke Indonesia, sehingga jika terjadi pada resesi ekonomi di negara tersebut yang mengakibatkan lesunya pergerakan pasar modal dalam negeri, maka akan berdampak negatif pada iklim investasi Indonesia.
Para investor tidak perlu pesimis atas pergerakan IHSG yang diwacanakan tergerus oleh krisis negara Eropa karena pasar dalam negeri masih tetap kondusif dan potensial membawa keuntungan. Akan tetapi pemerintah juga harus memberikan plesure yang lebih dengan memberikan kemudahan dan jaminan bagi investor agar masih tetap menyalurkan modalnya pada pasar dalam negeri.

BIBLIOGRAFI
Enders, Walter. 2004. “Applied Econometrics Time Series.” 2nd Edition, John Wiley and Sons: New York.
Harris, Richard and Sollis, Robert. 2003. “Applied Time Series Modelling and Forecasting.” John Wiley and Sons.
Hasan, Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara.
Inggrid. Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Pendekatan Kausalitas dalam Multivariate Vector Error Correction Model (VECM). JURNAL MANAJEMEN DAN KEWIRAUSAHAAN, VOL.8, NO. 1, MARET 2006: 40-50

www.bisnis.com
www.bisnis.vivanews.com
www.finance.detik.com
www.finance.yahoo.com
www.ftse.com
www.kitco.com
www.sse.com.cn
www.waspada.co.id






[1] Penulis merupakan mahasiswa STEI Tazkia tinggkat ke-3, jurusan Manajemen Keuangan Islam. Email: rizalrazib@gmail.com
[2] Lihat “Krisis Eropa: Harga Minyak Anjlok Dipicu Kekhawatiran spanyol” di http: //www.bisnis.com/articles/krisis-eropa-harga-minyak-anjlok-dipicu-kekhawatiran-spanyol diakses pada tangga 31 Mei 2012.
[3] Lihat “Wall Street Anjlok 1% Terseret Krisis Eropa” di http://finance.detik.com/read/wall-street-anjlok-1-terseret-krisis-eropa diakses pada tanggal 31 Mei 2012.
[4] Lihat “Krisis Italia Menebar Ketakutan, Saham Jatuh” di http://bisnis.vivanews.com/news/ antisipasi-krisis--indonesia-lebih-siap diakses pada tanggal 1 Juni 2012.
[5] Lihat “Ekonomi China Terancam Utang Eropa” di http://waspada.co.id// ekonomi-china-terancam-utang-eropa diakses pada tanggal 2 Juni 2012.
[6] Lihat “Krisis Eropa, Asia Dapat Terkena Imbas” di http://www.bisnis.com/articles/krisis-eropa-asia-dapat-terkena-imbas diakses pada tanggal 2 Juni 2012.
[7] Kunjungi www.ftse.com
[8] Kunjungi www.sse.com.cn
[9] Harris, Richard and Sollis, Robert. 2003. “Applied Time Series Modelling and Forecasting.” John Wiley and Sons. Serta Enders, Walter. 2004. “Applied Econometrics Time Series.” 2nd Edition, John Wiley and Sons: New York.

0 komentar:

Posting Komentar