Headline

IMAGE-1 IMAGE-2 IMAGE-3 IMAGE-4 IMAGE-5 IMAGE-5

Rabu, 23 Oktober 2013

Benarkah Internet Bagus Buat Demokrasi??

Berangkat dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Katinka Barysch, Direktur Hubungan Politik Allianz pada Worl Economic Forum yang mengutarakan apakah "Is the internet really good for democracy?" Ane nyoba beropini dengan beberapa fakta nih,

Internet memiliki potensi besar dalam pemberdayaan masyarakat dalam pemilihan politik (pemilu, pilgub, pilkada, maupun pilkades). Internet juga bisa digunakan sebagai sarana orasi politik atau meningkatkan suara pemilihan kandidat agar bisa mencapai elemen terkecil masyarakat bahakan masyarakat pinggiran). Hampir setiap kandidat pemangku jabatan politik jaman sekarang menggunakan FB, tweeter, dan youtube untuk sarana kampanye nya.

Para aktivis masyarakat dan organisasi juga menggunakan media internet untuk bertukar cerita, tulisan, komen, bahkan kritik kepada penguasa, dimana pun dan pada penguasa politik mana pun. Memang, belum ada suatu penelitian yang meneliti tentang hubungan langsung antara internet dan politik secara langsung. Namun, data menunjukkan adanya peningkatan penggunaan internet. Pada akhir 1990-an, hanya 4% dari populasi dunia yang menggunakan Internet, sementara saat ini adalah 40%. Jumlah gerakan, pemberontakan dan kampanye yang menggunakan Twitter, Facebook atau situs media baru lainnya mungkin telah meningkat dengan pesat pula. Negara yang mengklaim kebebasan hak bermasyarakat melalui LSM (demokrasi), maupun semi demokrasi (yang sebagian bebas) melejit dengan pesat. Sementara negara yang mengklaim monarki ataupun memiliki pemerintahan otoriter, nyaris tidak beranjak sejak tahun 1999. Meskipun jika ada pertempuran antara jaringan masyarakat dan pemerintah hirarki (otoriter dan monarki), seringkali hierarki akan lebih sering menang.

Salah satu alasan pasti adalah bahwa kaum otokrat juga sudah terampil dalam menggunakan Internet sebagaimana aktivis organisasi dan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga menyimpan sejumlah besar data tentang warganya. Mereka (otokrat) menggunakan jaringan internet dan ponsel untuk melacak pemimpin lain yang menjadi oposisi. Mereka juga bisa membatasi akses Internet dan mempekerjakan tentara / intel untuk mengintai oposisi yang melakukan percakapan online. Katinka berpendapat bahwa pemberdayaan individu melalui Internet juga dapat menumbuhkan respon represif (persis seperti globalisasi yang telah mengubah negara-negara menjadi negara kapitalisme).

Namun, ada juga yang berpendapat internet bisa menjadi katup pembuka era demokrasi politik. Bahkan, Seorang otoriter yang paling dominan di negara nya pun tidak bisa untuk mengontrol penuh aktivitas politik melalui internet. Misalnya, sebuah pemerintahan otoriter seperti pemerintah Mubarok di Mesir yang sempat menutup jaringan internet ketika Mesir bergejolak pada tahun 2011. Imbasnya adalah perekonomian Mesir turun drastis. Hampir semua sektor keuangan vital di Mesir menurun. Selain itu, para Pengguna tech-savvy cenderung untuk menyiasati upaya sensor resmi pemerintah. Karena pemerintah tidak dapat mengendalikan input, beberapa  mencoba menanggulangi hasil. Mahkamah Agung Rakyat di China misalnya, menetapkan pencemaran nama baik pada jejaring sosial tweeter bisa didakwakan sebagai pelanggran hukum jika di-retweet lebih dari 500 kali atau dibaca oleh lebih dari 5.000 orang di Internet.

Sementara pemerintah kehilangan kendali, aktivis internet juga belum tentu memperoleh kekuasaan. Menurut Katinka, Gerakan online akan berdampak terus menerus apabila menghasilkan kegiatan politik biasa seperti protes jalanan atau pembentukan partai. Untuk hal ini, mereka membutuhkan kepemimpinan. Namun, aktivis internet sering menolak kepemimpinan karena mereka melihat diri mereka sebagai gerakan rakyat murni (lihat Partai Bajak Laut di Jerman yang hampir hancur karena berupaya memberikan setiap anggotanya suatu suara yang sama dalam merumuskan program atau memutuskan masalah). Dengan tidak adanya kepemimpinan, strategi dan kompromi, kebanyakan pemberontakan melalui Internet yang berkembang dengan pesat akan menghilang dengan cepat pula.

Jika demikian, mungkin internet kurang efektif dalam memerangi tirani, tetapi kadang internet juga bisa membuat politik dalam sebuah negara yang demokrasi menjadi bergejolak. Bisa dikatakan penilaian yang lebih realistis tentang apakah internet bisa mempengaruhi dunia politik dapat diterima. Namun kita tidak harus menjadi kekeuh dan pesimis. Ya, internet dapat digunakan untuk propaganda, populisme dan represi. Tetapi juga menginformasikan, menyatukan dan memberdayakan masyarakat sepenuhnya dengan cara-cara baru dan membantu mereka untuk memperjuangkan hak-hak dan kebebasan mereka.

0 komentar:

Posting Komentar