Yang
dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia
positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit --karena kasih sayang--
yang dilakukan oleh dokter
dengan mempergunakan instrumen
(alat).
Beberapa contoh diantaranya:- seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosisi) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
- Orang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan menggunakan alat bantuan pernapasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan dihentikan, si penderita tifak mungkin dapat melanjutkan pernapasannya. Maka, sau-satunya cara yang mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan si sakit hidup dengan mempergunakan bantuan pernapasan buatan untuk melanjutkan gerak kehidupannya. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" karena tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhrntikan alat bantuan pernaasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal ini
berbeda dengan eutanasia negatif
(taisir al- maut al-munfa'il) Pada
eutanasia negatif tidak
dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif
untuk mengakhiri kehidupan si
sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk
memperpanjang hayatnya. Contohnya seperti berikut:
1) Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau
terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau
orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati
--padahal masi ada kemungkinan untuk diobati-- akan dapat mematikan penderita.
Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2) Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena
menderita tashallub al-Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal
almukhkhi (kelumpuhan otak). Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan
--tanpa diberi pengobatan—apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis
penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
At-tashallub
al-asyram atau asy-syaukah
al-masyquqah ialah kelainan pada tulang
belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kemampuan/ kontrol pada kandung
kencing dan usus besar. Anak yang menderita penyakit ini
senantiasa dalam kondisi
lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama
hidupnya.
Sedangkan asy-syalal
al-mukhkhi (kelumpuhan otak)
ialah suatu keadaan yang menimpa saraf otak sejak anak dilahirkan yang menyebabkan
keterbelakangan pikiran dan
kelumpuhan badannya dengan tingkatan
yang berbeda-beda. Anak
yang menderita penyakit ini
akan lumpuh badan dan pikirannya serta selalu memerlukan
bantuan khusus selama hidupnya.
Dalam
contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut
gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka
menghentikan pengobatan dan
mempermudah kematian secara pasif
(eutanasia negatif) itu
mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.
PERTANYAAN
Berkaitan
dengan permasalahan tersebut muncul
pertanyaan- pertanyaan berikut:
1. Apakah memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia
positif) ditolerir oleh Islam?
2. Apakah memudahkan proses kematian secara pasif (eutanasia
negatif) juga diperbolehkan dalam Islam?
JAWABAN
Memudahkan
proses kematian secara aktif (eutanasia
positif) seperti pada contoh
nomor satu tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab yang
demikian itu berarti
dokter melakukan tindakan aktif
dengan tujuan membunuh
si sakit dan mempercepat kematiannya
melalui pemberian obat
secara overdosis. Maka dalam
hal ini, dokter
telah melakukan
pembunuhan,
baik dengan cara seperti tersebut dalam
contoh, dengan pemberian racun
yang keras, dengan
penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu
termasuk pembunuhan yang
haram hukumnya, bahkan termasuk dosa
besar yang membinasakan.
Perbuatan
demikian itu tidak
dapat lepas dari
kategori pembunuhan meskipun yang
mendorongnya itu rasa
kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun
si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang
Menciptakannya. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada
Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang
memberi kehidupan kepada
manusia dan yang
mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.
Adapun contoh
kedua dari eutanasia positif ini
kita tunda dahulu pembahasannya setelah
kita bicarakan eutanasia negatif.
EUTANASIA
NEGATIF (MENGHENTIKAN/ TIDAK MEMBERIKAN PENGOBATAN)
Adapun memudahkan
proses kematian dengan
cara pasif (eutanasia negatif)
sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka
semua itu --baik dalam contoh
nomor satu maupun nomor dua-- berkisar pada
"menghentikan
pengobatan" atau tidak memberikan
pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan
yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit,sesuai dengan
sunnatullah (hukum Allah
terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah
yang sudah terkenal
di kalangan ulama syara' ialah
bahwa mengobati atau
berobat dari penyakit tidak wajib
hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan
menurut mereka, mengobati atau berobat
ini hanya berkisar pada
hukum mubah. Dalam
hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya
seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i
dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah,1
dan sebagian ulama lagi menganggapnya
mustahab (sunnah).
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana
yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka
ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih
utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih
dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita
itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya,
lalu beliau menjawab:
"'Jika engkau
mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika
engkau mau, akan
saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.' Wanita itu
menjawab, aku akan bersabar. 'Sebenarnya saya tadi ingin
dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya
tidak minta dihilangkan
penyakit saya.' Lalu
Nabi mendoakan orang itu
agar tidak meminta
dihilangkan penyakitnya."2
Disamping
itu, juga disebabkan banyak dari kalangan
sahabat dan tabi'in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan
diantara mereka ada yang memilih
sakit, seperti Ubai
bin Ka'ab dan Abu
Dzar radhiyallahu'anhuma. Namun demikian, tidak ada yang mengingkari
mereka yang tidak
mau berobat itu.3
Dalam kaitan
ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri
dalam "Kitab at-Tawakkul" dari
Ihya' Ulumuddin, untuk menyanggah
orang yang berpendapat bahwa tidak
berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.4
Demikian
pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat
atau pengobatan bagi orang sakit.
Sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah, sebagian
kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan
sebagian kecil lagi
--lebih sedikit dari
golongan
kedua-- berpendapat wajib.
Dalam hal
ini saya sependapat
dengan golongan yang mewajibkannya apabila
sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh
sesuai dengan sunnah
Allah Ta'ala.
Inilah yang
sesuai dengan petunjuk
Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat,
sebagaimana yang dikemukakan oleh
Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma'ad.5 Dan paling
tidak, petunjuk Nabi
saw. Itu menunjukkan hukum sunnah
atau mustahab.
Oleh karena
itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila
penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada
harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat
yang diketahui dan dimengerti oleh
para ahlinya --yaitu
para dokter—maka tidak ada seorang
pun yang mengatakan
mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita
sakit diberi berbagai
macam cara pengobatan
--dengan cara meminum
obat, suntikan, diberi makan
glukose dan sebagainya,
atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya
sesuai dengan penemuan
ilmu kedokteran modern-- dalam
waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja
tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu
tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin
kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah
yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan
proses kematian (taisir al-maut) –kalau boleh diistilahkan
demikian-- semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan
istilah qatl ar-rahmah
(membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi
dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah,
sehingga tidak dikenai sanksi.
Jika
demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara' --bila keluarga
penderita mengizinkannya-- dan dokter diperbolehkan melakukannya
untuk meringankan si sakit dan
keluarganya,
insya Allah.
MEMUDAHKAN
KEMATIAN DENGAN MENGHENTIKAN PENGGUNAAN ALAT
BANTU
PERNAPASAN
Sekarang
saya akan menjawab contoh
kedua dari eutanasia positif menurut pertanyaan tersebut --bukan negatif—yaitu
menghentikan alat pernapasan buatan dari
si sakit, yang
menurut pandangan
dokter dia dianggap
sudah "mati" atau "dihukumi telah mati" karena
jaringan otak atau sumsum yang dengannya seseorang dapat hidup dan merasakan sesuatu
telah rusak.
Kalau yang
dilakukan dokter itu
semata-mata menghentikan alat pengobatan,
hal ini sama
dengan tidak memberikan pengobatan. Dengan demikian,
keadaannya seperti keadaan lain yang
diistilahkan dengan ath-thuruq
al-munfa'ilah (jalan-jalan pasif/eutanasia negatif).
Karena itu,
saya berpendapat bahwa eutanasia
seperti ini berada di
luar daerah "memudahkan kematian
dengan cara aktif" (eutanasia positif), tetapi masuk ke dalam jenis
lain (yaitu eutanasia negatif; Penj.)
Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan
syara', tidak terlarang. Lebih-lebih
peralatan-peralatan tersebut hanya dipergunakan penderita
sekadar untuk kehidupan yang
lahir --yang tampak dalam pernapasan
dan peredaran darah/denyut nadi saja--
padahal dilihat dari
segi aktivitas maka si sakit itu sudah seperti orang mati, tidak responsif,
tidak
dapat mengerti
sesuatu dan tidak dapat merasakan
apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua
itu telah rusak.
Membiarkan si
sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan
dana yang banyak bahkan tidak terbatas.
Selain itu juga menghalangi
penggunaan alat-alat tersebut bagi
orang lain
yang membutuhkannya dan masih dapat
memperoleh manfaat dari alat
tersebut. Di sisi lain, penderita
yang sudah tidak dapat merasakan
apa-apa itu hanya
menjadikan sanak keluarganya
selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun
lamanya.
Saya telah
mengemukakan pendapat seperti ini sejak
beberapa tahun lalu di hadapan sejumlah fuqaha dan dokter dalam suatu seminar
berkala yang diselenggarakan oleh
Yayasan Islam untuk ilmu-ilmu
Kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fiqih dan
dokter itu menerima
pendapat tersebut.
Segala puji
kepunyaan Allah yang
telah memberi petunjuk kepada kita ke jalan Islam
ini, dan tidaklah
kita akan mendapat petunjuk kalau
bukan Allah yang menunjukkan kita.
Catatan
kaki:
1 Al-Fatawa
al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, juz 4, hlm. 260,
terbitan Mathba'ah Kurdistan al-Ilmiah,
Kairo.
2 Muttafaq
'alaih. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam "Kitab
al-Mardhaa" dan Muslim dalam "Kitab
al-Birr wash-Shilah,"
hadits nomor 2265.
3 Ibnu
Taimiyah, op cit.
4 Ihya
'Ulumuddin, juz 4, hlm. 290 dan seterusnya.
5
Zadul-Ma'ad, juz 3, terbitan ar-Risalah, Beirut.
-----------------------
Fatwa-fatwa
Kontemporer
Dr. Yusuf
Qardhawi
Gema Insani
Press
Jln.
Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021)
7984391-7984392-7988593
Fax. (021)
7984388
ISBN
979-561-276-X
0 komentar:
Posting Komentar