Sebuah majalah populer terbitan Amerika Serikat (AS), Esquire
edisi Oktober 2003 memuat kisah perjalanan di tiga negara 'panas', yakni Irak,
Afghanistan, dan Palestina. Laporan perjalanan karya CJ Chivers itu diberi
judul What I Learned at The Jihad (apa yang kita pelajari dalam jihad).
Layaknya laporan perjalanan, tulisan karya veteran Marinir AS yang kemudian
menjadi reporter itu disajikan sangat menawan. Dalam tulisan tersebut dia
bercerita soal pertemuannya dengan beberapa pejuang Irak, kelompok Aliansi
Utara di Afghanistan, serta para mujahid Palestina.
Melalui laporan perjalannya, secara implisit Chivers menampilkan pandangan
Barat terhadap terminologi Jihad. Dari awal hingga akhir tulisan, istilah Jihad
yang dia gunakan selalu didekatkan dengan perang. Gaya penyajian seperti itu
mudah sekali menggiring pembacanya untuk memaknai jihad secara sempit, yakni
mengangkat senjata dan menumpahkan darah.
Lebih lanjut, dia menggambarkan bahwa gerakan jihad mulai berkembang pada
pertengahan 1980-an. Waktu itu, para pejuang Afghanistan sedang berusaha keras
melawan Uni Soviet. Untuk berjihad, para pejuang belajar membuat bom,
melumpuhkan lawan, merakit senapan, dan sebagainya.
Fenomena jihad digambarkan menjadi begitu mengerikan. Secara sepintas tulisan
tersebut menyinggung bahwa semangat jihad pemeluk Islam, terkadang menjadi
penyulut aksi teror. Semangat seperti itu, kata Chivers, mudah muncul karena
keterbelakangan mayoritas pemeluk Islam.
''Saat ini pemeluk Islam di dunia mencapai 1,2 miliar atau seperlima penduduk
dunia,'' tulisnya. Tapi, menurut Chivers, sebagian besar umat Islam hidup
dengan tingkat ekonomi yang rendah, pemerintahan yang korup, dan tidak
demokratis. Latar belakang tersebut, dinilainya, membuat orang Islam menjadi
rentan untuk direkrut sebagai pelaku aksi teror, yang diatasnamakan jihad.
Pemaknaan jihad seperti itu, tentu berbeda jauh dengan pemahaman jihad yang
sebenarnya di kalangan umat Islam. Jika diartikan secara harfiah, istilah jihad
itu maknanya bersungguh-sungguh. Berdasarkan makna tersebut, setiap orang yang
bersungguh-sungguh dalam konotasi positif, sudah jelas bisa dikategorikan
sebagai jihad. Dalam pandangan yang lebih luas, jihad tidak selamanya perang.
esquire/irf
Ensiklopedi Jihad Sri Redjeki
Halaman 196 Majalah Esquire edisi Oktober 2003 memuat ilustrasi yang sangat
bermakna. Ilustrasi tersebut membandingkan sebuah lembaran buku manual tentara
Amerika Serikat (AS) dengan salah satu lembaran buku berjudul Al Mutafajjirot,
yang juga disebut sebagai salah satu seri ensiklopedi jihad. Keduanya memiliki
kemiripan.
Ilustrasi ini juga mengingatkan kita pada temuan Kepolisian Daerah Jawa Tengah
(Polda Jateng) di Jl Taman Sri Redjeki Selatan VII/2, Semarang. Selain
menemukan bahan peledak dan senjata api, polisi juga menemukan 16 buku di
alamat tersebut. Polisi kemudian menyebut buku-buku yang ditemukannya itu
dengan istilah 'Dokumen Sri Redjeki'.
Seluruh buku itu ditulis dalam bahasa Arab. Polisi kemudian meminta H Ma'mun
Efendi Nur PhD untuk menerjemahkannya. Dia adalah pakar bahasa Arab lulusan
Universitas Millia Islamia New Delhi, India. Saat ini, Ma'mun juga menjadi
salah satu pengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo, Semarang.
Satu di antara 16 buku yang ditemukan Polda Jateng itu berjudul Al
Mutafajjirot. Buku ini membahas masalah bahan peledak. Sampul buku ini sempat
ditunjukkan Ma'mun ketika diwawancarai Trans TV dalam acara Kupas Tuntas.
Ternyata, sampul yang berada di tangan Ma'mun itu terlihat sama persis dengan
sampul yang termuat dalam majalah tersebut.
Pada umumnya, buku-buku yang ditemukan di Jl Taman Sri Redjeki itu berisi
kajian tentang senjata dan strategi perang. Dalam wawancaranya, Ma'mun juga
menjelaskan bahwa buku-buku itu dibuat pada 1980-an, saat pejuang Afghanistan
dengan dukungan AS berusaha keras melawan tentara Uni Soviet. Kata dia, tidak
tertutup kemungkinan, buku-buku itu disusun dengan menerjemahkan buku-buku
petunjuk penggunaan senjata yang dikirim AS ke Afghanistan.
Pernyataan Ma'mun dalam wawancara tersebut terlihat senada dengan tulisan CJ
Chivers yang dimuat dalam Esquire. Chivers mengungkapkan bahwa kebanyakan
ensiklopedi jihad itu disusun dengan menerjemahkan manual yang dibuat Pentagon.
''Seorang koresponden The New York Times, David Rohde, yang masuk Kabul (ibu
kota Afghanistan), juga pernah menemukan diktat tentang merakit amunisi yang
diterjemahkan dalam bahasa Arab,'' tulisnya.
Diktat tersebut merupakan salah satu manual bagi tentara AS dalam perang
Vietnam. Diagram yang termuat buku tersebut juga dicuplik dalam diktat
terjemahan bahasa Arabnya. David menemukannya di Kamp Al Farouk dekat Kandahar.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa buku-buku yang ditemukan di Jl Taman Sri
Redjeki, sebenarnya juga bisa ditemukan di tempat lain. Tapi, aparat kepolisian
selama ini banyak mengaitkan buku-buku itu dengan Jamaah Islamiyah. Padahal,
seperti diakui Ma'mun, buku-buku itu tidak sedikit pun menyebut istilah Jamaah
Islamiyah.
Secara lengkap, 'Dokumen Sri Redjeki' itu terdiri atas buku berjudul Al
Musaddasah (cara membuat pistol), Al Aslihah (cara membuat senjata selain
pistol), Al Qonabi wa Al Argham (cara membuat bom dan ranjau), Al Mutafajjirot
(cara membuat mercon, ledakan, dan granat), serta Addababaat (kegunaan dan
perawatan tank baja).
Selain itu juga Attasniyah (cara khusus membuat rakitan), Al Is'afat Awaliyyah
(cara pengobatan), At Thobughorofiyah wa Masahah (fotografi), At Ta'tik (aktik
dan strategi berperang), Hadmiyatul Muwajjahah fi Idarotis Siroj (kewajiban
menghadapi musuh), Risalatul Umdad fi Idadil Muhdad Bijihadi fi Sabilillah
(persiapan menuju jihad di jalan Allah SWT), Hadza Khosmani Amru Birobbihim
(dialog tentang keagamaan).
Buku lainnya adalah Min Khotoya Islamiyah (kasus-kasus Islam masa kini),
Nadzariyadus Siyadah wa Atsaruha (teori kedaulatan dan dampak perundangan), At
Ta'dudiyah Siyasiyah (multipartai), dan At Tathorufuddiny (problem keagamaan).
Dalam buku-buku tersebut terdapat persembahan dan ucapan terima kasih untuk
pimpinan Alqaidah, Usamah bin Ladin, Syekh Abdullah Azzam, salah satu pemimpin
mujahidin Afghanistan, serta seluruh mujahid. Di bawah lembar persembahan
tertulis sebutan Alqaidah.
Selain itu, juga terdapat bendel buletin yang berjudul Silsilah Al Fikr Islami,
terbitan Mesir yang berisi pro dan kontra ilmuwan Mesir tentang wacana
keislaman. Buletin tersebut sudah tidak terbit lagi. Secara prinsip, buletin
ini tidak berbahaya, karena di Mesir bisa beredar bebas.
Sampai saat ini, polisi masih menyebut seluruh buku dan bendel majalah itu
sebagai dokumen. Penggunaan istilah dokumen itu sempat mengundang protes dari
Direktur Eksekutif Imparsial, Munir. Dia menilai polisi terlalu menggampangkan
dalam menyebut buku-buku itu sebagai dokumen. ''Itu menurut saya lebih tepat
disebut referensi,'' kata aktivis Kontras itu.
Menurut Munir, kajian tentang cara membuat bom itu bisa saja diambil dari
internet, atau sumber lain oleh siapa saja. Orang yang mempunyai referensi
tersebut, tambahnya, belum tentu berencana untuk melakukan peledakkan, atau
terlibat dalam aksi teror. Sebagai referensi, buku-buku itu tidak bisa
dijadikan barang bukti di pengadilan.
Kepala Polda Jateng, Irjen Didi Widayadi, terlihat tidak sepakat. Pihaknya
tetap meganggap buku-buku tersebut sebagai dokumen yang akan ditingkatkan
menjadi bukti material di pengadilan. ''Itu bukan referensi, karena bagi
kepolisian itu sangat serius. Apalagi isi dokumen itu cara-cara merakit bom,
dan ada simbol-simbol Islam yang menyesatkan,'' katanya menegaskan.
sya/irf/ant/RioL
0 komentar:
Posting Komentar